Sabtu, 01 November 2014

Inisiasi VI : IMAN, ILMU, SENI DAN AMAL

Iman ialah isim masdar dari fi'il tsulasi mazid amana-yu'minu-imanan mengikuti pola wazan af'ala-yuf'ilu-if’alan yang berfaedah muta'adi dengan makna menenangkan, mengamankan atau mempercayai. Berbeda dengan fi'il tsulasi mujaradnnya amina-ya'manu-amnan wa amanan wa amanatan yang hanya berfaedah lazim dan bermakna tenang, aman atau amanat (kepercayaan), kata iman dibentuk dari kata kerja aktif yang mempunyai indikator adanya usaha dan proses dalam mencapai suatu tujuan. Karena berdasarkan ketentuan dalam ilmu sharaf, pengertian fi'il muta'adi adalah kata kerja yang selalu membutuhkan maf’ul atau obyek. Dalam hal ini, lafadz amana dengan seluruh derivasi waqe' dan shighatnya tidak dapat langsung bertemu dengan apa yang ditujunya sebagai obyek, kecuali dengan perantaraan huruf al-jar yakni huruf ba' (Muta'adi bi harf al-jar). Ketentuan tersebut setidaknya memberikan suatu penjelasan bahwa seorang yang mempercayai Tuhan dan berharap dapat bertemu dengan-Nya, maka terlebih dahulu ia harus merealisasikan keimanannya dengan perantaraan aktifitas-aktifitas positif.  Mafhum mukhalafahnya, orang yang beriman tanpa dibarengi dengan aktifitas positif mustahil dapat bertemu dengan Tuhan.
Dalam pengertian lain, iman dapat juga diartikan sebagai komitmen manusia untuk menjalankan amanat Tuhan (Q.S. 33: 72). Dalam hal ini, wazan amana-yu’minu-imanan bermakna muthawwa’ah atau menerima konsekuensi suatu pekerjaan (amanat) dari bentuk mujarradnya (amina-ya’manu) yang berfaedah lazim. Berdasarkan pengertian ini, orang beriman atau “mukmin” tidak lain adalah “mandataris” Tuhan yang berkewajiban untuk melaksanakan “amanat” ketetapan-Nya dalam al-Qur’an. Di sisi lain, orang beriman diharapkan jangan sampai berkhianat (lawan dari amanat) kepada Tuhan dan Rasul-Nya. Yakni dengan tidak menjalankan atau mengkhianati amanat kekhalifahan yang telah dipercayakan kepadanya sebagai manusia hanya demi untuk kepentingan harta (ekonomi) dan anak (bangsa) sendiri. Karena sesungguhnya, harta dan anak keturunan dijadikan Tuhan sebagai cobaan (Q.S. 8: 27-28).
Iman sering diartikan sebagai pernyataan lisan yang diyakini kebenarannya oleh hati nurani serta direalisasikan dengan amal perbuatan. Menurut Abdul Majid Zindani, iman merupakan keyakinan dan amal aktif insan yang meliputi: amal hati, amal lisan, dan amal perbuatan.  Barangkali pendapat Zindani ini merupakan analisisnya mengenai uslub al-Qur'an yang sering merangkai kata iman dengan kata amal sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.
Pengertian dan penjelasan singkat tentang makna iman di atas membawa pada suatu kesimpulan bahwa iman seseorang tidak akan punya arti bila tidak dibarengi dengan amal perbuatan sebagai bentuk ibadah atau pengabdian kepada sesuatu yang ia dengan sangat yakin mempercayai-Nya. Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa ibadah adalah konsekuensi logis yang harus direalisasikan seseorang dalam bentuk konkrit sebagai bukti keimanannya. Untuk lebih memperjelas masalah ini, berikut pendapat Nurcholis Madjid ketika berbicara tentang adanya keharusan logis dalam merealisasikan iman:
"Alasan sistem ibadah merupakan salah satu kelanjutan logis dari sistem iman, selain adanya hubungan antara iman dan amal, juga dalam kenyataan historis tak pernah ada sistem kepercayaan yang tumbuh tanpa sedikit banyak mengintrodusir ritus-ritus, dan iman berbeda dengan sistem ilmu atau filsafat yang hanya berdimensi rasionalitas, karena iman selalu memiliki dimensi-dimensi supra rasional atau spiritual yang mengekspresikan diri dalam tindakan-tindakan kebaktian melalui sistem ibadah".

Ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an terdiri dari tiga bagian besar, yakni aqidah, akhlaq, dan amaliyah. Ajaran amaliyah Islam yang juga disebut sebagai fiqh Al-Qur'an adalah ketentuan hukum yang mengatur tentang amal usaha seorang mukallaf baik berupa ucapan, tindakan, perikatan, maupun pengeluaran uang. Ketentuan hukum ayat amaliyah tersebut kemudian diklasifikasikan oleh para fuqoha ke dalam ilmu fiqh.  Bila ditelusuri lebih jauh, hukum amaliyah juga terbagi dalam dua kategori. Pertama, kategori hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-nya atau disebut fiqh ibadah. Persoalan yang diatur dalam wilayah hukum ini adalah sholat, puasa, zakat, haji, dan persoalan-persoalan lain yang murni berhubungan dengan Tuhan. Kedua, kategori hukum yang mengatur kehidupan manusia dengan sesama manusia atau disebut fiqh muamalah. Persoalan yang diatur dalam wilayah ini adalah keluarga, harta benda, pidana, ekonomi, politik, dan persoalan-persoalan lain yang memang menyangkut hubungan antar manusia.
Prinsip dasar yang terdapat dalam fiqh ibadah mengenai konsep isthishab atau hukum asal segala sesuatu adalah qaidah al-aslu fi al-ibadah al-hazru, illa ma dalla al-dalil 'ala khilafihi. Yakni hukum asal dalam persoalan ibadah berorientasi pada larangan, kecuali bila ada dalil lain yang memperbolehkannya. Dalam pengertian ini, manusia sama sekali tidak diperkenankan untuk melakukan uji coba dalam memodifikasi atau memodernisasi cara-cara ibadah tanpa ada petunjuk syar'i. Sebagai contoh, agar seluruh umat Islam di Indonesia dapat menunaikan ibadah haji, maka pemerintah menetapkan fatwa bahwa pergi haji cukup dilakukan di negeri sendiri pada sebuah tempat yang telah ditentukan. Ijtihad pemerintah seperi ini, sekalipun memberikan kemudahan kepada orang banyak adalah perbuatan yang dilarang. Sebab kebijakan tersebut menyangkut masalah ibadah dan bersifat ta'abudi, yakni wa bi dzalik umirtu wa ana min al-muslimin. Berbeda halnya dengan mengurangi jumlah rekaat sholat yang empat rekaat menjadi dua rekaat bagi seorang musafir. Karena memang ada dalil pengecualian yang membolehkan seorang musafir untuk melakukan hal itu.
Sedangkan dalam fiqh muamalah, qaidah yang berlaku mengenai konsep isthishab atau hukum asal segala sesuatu adalah al-aslu fi al-muamalah al-ibahah, illa ma dalla al-dalil 'ala khilafihi. Yakni hukum asal dalam masalah muamalah berorientasi pada kebolehan, kecuali bila ada dalil lain yang melarangnya. Dengan ketentuan hukum seperti ini, maka sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syar'i, umat Islam mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan modifikasi dan modernisasi berbagai macam cara yang memudahkan baginya dalam melakukan hubungan sosial kemasyarakatan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki.
Bila kita kembalikan pada konsep awal mengenai pembagian ketentuan hukum dalam al-Qur'an, maka baik fiqh ibadah maupun fiqh muamalah keduanya merupakan bagian dari hukum amaliyah yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh umat Islam sebagai wujud ibadah atau pengabdian kepada Tuhan. Hanya saja, Berbeda dengan hukum fiqh ibadah mahdhah yang pure milik Tuhan dan menyangkut pada keyakinan dan tingkat ketaqwaan seseorang kepada-Nya terutama terhadap adanya hari pembalasan kelak, maka untuk menghindari ketidak-jelasan fungsi hukum pada bidang fiqh muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, sifat mengikat dan sangsi tegas dalam hukum merupakan suatu keniscayaan. Sebab tanpa kedua hal tersebut, pelaksanaan hukum yang ditujukan demi kemaslahatan hidup umat manusia akan mengalami kendala dan sulit untuk ditegakan.
Berdasarkan penjelasan di atas, harus dibedakan antara ibadah kepada Tuhan sebagai bentuk pengabdian dengan fiqh ibadah sebagai salah satu aspek ketentuan hukum amaliyah yang diatur dalam al-Qur'an. Beribadah kepada Tuhan berarti kita melaksanakan semua ketentuan hukum Tuhan dalam al-Qur'an, baik itu menyangkut aspek fiqh ibadah maupun fiqh muamalah dengan tanpa menafikan satu dengan yang lain. Dalam pengertian ini, maka aktifitas ritual sholat dengan aktifitas muamalah mendirikan LSM untuk memantau penebangan hutan secara liar sama bernilai ibadah, yakni sama-sama menjalankan perintah Tuhan. Yang pertama adalah ibadah mahdhah dalam rangka melaksanakan perintah Tuhan untuk senantiasa ingat kepada-Nya (Q.S. 20: 14). Sedangkan yang kedua adalah ibadah ghairu mahdhah untuk menjalankan salah satu tugas dan fungsi kekhalifahan dengan cara mencegah adanya kerusakan di muka bumi yang memang telah diamanatkan kepada manusia (Q.S. 2: 30, 7: 56, 33: 72). Persoalan esensial selanjutnya adalah bagaimana manusia menata niat ketika menjalankan kedua macam ibadah tersebut. Sholat karena riya' sama tidak berartinya dengan mendirikan LSM demi untuk mencari pamor. Orientasi dan niat ikhlas kepada Tuhan semata adalah syarat mutlak bagi manusia dalam menjalankan aktifitas kehidupan yang dapat bernilai ibadah di sisi Tuhan, dan bukan pada formalitas ritual maupun muamalahnya.

Keimanan merupakan hal yang paling esensial bagi seorang mukmin, karena itu tanpa iman seseorang tidak dapat dikatakan mukmin. Keimanan dalam Islam terdistribusi dalam enam hal yang lazim disebut dengan rukun iman (arkan al-iman) yaitu iman pada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir (hari kiamat), dan qadar baik/buruk. Sebagian ulama mengatakan bahwa keenam hal ini cukup diyakini dalam hati. Sementara yang lain berpendapat bahwa iman tidak cukup hanya dengan keyakinan dalam hati saja, tetapi harus diucapkan dengan lisan (lidah), dan diimplementasikan dalam perbuatan (tashdiq bi al-qalb taqrir bi al-lisan wa al-amal bi al-arkan).
Perintah untuk beriman (aminu) dalam al-Qur’an sering diikuti dengan kata berbuat baik (amilu al-shalihat). Hal ini memberikan penekanan pada umat Islam bahwa seorang muslim tidak cukup hanya beriman tetapi harus mengimplementasikan nilai-nilai keimanan tersebut dalam kehidupan sosial. Dalam konteks ini terlihat jelas korelasi antara iman dan amal.
Buah dari keimanan seseorang pada hal-hal di atas membuatnya memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan komunitas yang tidak beriman (unbeliever). Di antara ciri-ciri orang yang beriman yang dijelaskan dalam al-Qur’an adalah; bergetarnya hati ketika disebutkan nama Allah dan hanya kepada Allahlah ia bertawakal, yaitu menyerahkan segala keputusan atau hasil usaha kepada Allah setelah berusaha dengan maksimal (QS. Al-Anfal 2). Selanjutnya terdapat pula ayat yang mengatakan bahwa orang yang beriman akan memakan makanan-makanan yang baik (al-thayyibat) dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat (QS. Al-Baqarah 172), menepati janji (QS. Al-Maidah 1), dll. Ciri-ciri ini melekat pada siapa saja yang mengaku beriman, sehingga seorang yang mengaku beriman tetapi tidak memenuhi ciri-ciri tersebut maka keimanannya akan disangsikan (diragukan atau tidak sempurna).
Salah satu konsekuensi dari keimanan kepada kitab Allah adalah memahami pesan dan nilai yang terdapat di dalamnya. Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyuruh kaum muslimin untuk mempergunakan akal untuk mencari ilmu pengetahuan. Malah Allah memberikan keistimewaan bagi mereka dengan memposisikannya lebih tinggi dari yang lainnya (QS. Al-Mujadalah 11). Sangat mudah menemukan ayat-ayat tentang perintah mencari ilmu, afala ta’qilun, afala tazakkarun, afala tubshirun, ulu al-bab, ulu al-nuha, dll, sebaliknya belum ditemukan satu ayatpun yang mengingkarinya. Kenyataan ini menjadikan Islam sebagai agama yang rasional, progresif, dan cinta kemajuan. Rasionalitas dalam Islam memperoleh posisi yang istimewa. Rasulullah bersabda, “al-din huwa al-aql, la dina liman la ‘aqla lah”, agama itu rasional, maka belumlah seorang itu dipandang beragama (belum sempurna) ketika belum mempergunakan rasionya.
Namun demikian pencapaian manusia terhadap ilmu pengetahuan harus tetap di bawah pengawasan dan kendali agama (baca;Islam). Islam menegaskan bahwa ilmu pengetahuan harus digali dan dipergunakan sepenuhnya dalam kerangka ibadah pada Allah. Man izdada ilman lam yazdad huda lam yazdad ila Allah illa bu’da, barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tidak bertambah keimanannya, maka sesungguhnya ia akan semakin jauh dari Tuhannya. Islam mengutuk keras para pencari ilmu yang mempergunakan ilmunya untuk mencelakakan diri sendiri ataupun masyarakat. Theodore John Kaczynski dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Si jenius ahli matematika lulusan Harvard University dan Michigan University ini dijuluki unabom. Dengan bom yang diciptakannya ia telah membunuh dan melukai banyak orang selama 17 tahun. Jelas Islam tidak menginginkan lahirnya Kaczynski-Kaczynski lain yang dengan penemuannya justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
Berbicara tentang seni, para ahli sepakat mengatakan bahwa seni sangat erat hubungannya dengan keindahan. Islam tidak anti seni begitu juga dengan keindahan. Inna Allah jamil wa yuhibbu al-jamal, Allah itu indah dan mencintai keindahan. Namun keindahan dalam perspektif manusia tetap harus berada dalam koridor agama. Sesuatu yang dianggap indah oleh manusia harus selaras dengan keindahan yang ditetapkan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar