Iman ialah isim masdar dari fi'il tsulasi mazid amana-yu'minu-imanan
mengikuti pola wazan af'ala-yuf'ilu-if’alan yang berfaedah muta'adi
dengan makna menenangkan, mengamankan atau mempercayai. Berbeda dengan
fi'il tsulasi mujaradnnya amina-ya'manu-amnan wa amanan wa amanatan yang
hanya berfaedah lazim dan bermakna tenang, aman atau amanat
(kepercayaan), kata iman dibentuk dari kata kerja aktif yang mempunyai
indikator adanya usaha dan proses dalam mencapai suatu tujuan. Karena
berdasarkan ketentuan dalam ilmu sharaf, pengertian fi'il muta'adi
adalah kata kerja yang selalu membutuhkan maf’ul atau obyek. Dalam hal
ini, lafadz amana dengan seluruh derivasi waqe' dan shighatnya tidak
dapat langsung bertemu dengan apa yang ditujunya sebagai obyek, kecuali
dengan perantaraan huruf al-jar yakni huruf ba' (Muta'adi bi harf
al-jar). Ketentuan tersebut setidaknya memberikan suatu penjelasan bahwa
seorang yang mempercayai Tuhan dan berharap dapat bertemu dengan-Nya,
maka terlebih dahulu ia harus merealisasikan keimanannya dengan
perantaraan aktifitas-aktifitas positif. Mafhum mukhalafahnya, orang
yang beriman tanpa dibarengi dengan aktifitas positif mustahil dapat
bertemu dengan Tuhan.
Dalam pengertian lain, iman dapat juga diartikan sebagai komitmen
manusia untuk menjalankan amanat Tuhan (Q.S. 33: 72). Dalam hal ini,
wazan amana-yu’minu-imanan bermakna muthawwa’ah atau menerima
konsekuensi suatu pekerjaan (amanat) dari bentuk mujarradnya
(amina-ya’manu) yang berfaedah lazim. Berdasarkan pengertian ini, orang
beriman atau “mukmin” tidak lain adalah “mandataris” Tuhan yang
berkewajiban untuk melaksanakan “amanat” ketetapan-Nya dalam al-Qur’an.
Di sisi lain, orang beriman diharapkan jangan sampai berkhianat (lawan
dari amanat) kepada Tuhan dan Rasul-Nya. Yakni dengan tidak menjalankan
atau mengkhianati amanat kekhalifahan yang telah dipercayakan kepadanya
sebagai manusia hanya demi untuk kepentingan harta (ekonomi) dan anak
(bangsa) sendiri. Karena sesungguhnya, harta dan anak keturunan
dijadikan Tuhan sebagai cobaan (Q.S. 8: 27-28).
Iman sering diartikan sebagai pernyataan lisan yang diyakini
kebenarannya oleh hati nurani serta direalisasikan dengan amal
perbuatan. Menurut Abdul Majid Zindani, iman merupakan keyakinan dan
amal aktif insan yang meliputi: amal hati, amal lisan, dan amal
perbuatan. Barangkali pendapat Zindani ini merupakan analisisnya
mengenai uslub al-Qur'an yang sering merangkai kata iman dengan kata
amal sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.
Pengertian dan penjelasan singkat tentang makna iman di atas membawa
pada suatu kesimpulan bahwa iman seseorang tidak akan punya arti bila
tidak dibarengi dengan amal perbuatan sebagai bentuk ibadah atau
pengabdian kepada sesuatu yang ia dengan sangat yakin mempercayai-Nya.
Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa ibadah adalah konsekuensi
logis yang harus direalisasikan seseorang dalam bentuk konkrit sebagai
bukti keimanannya. Untuk lebih memperjelas masalah ini, berikut pendapat
Nurcholis Madjid ketika berbicara tentang adanya keharusan logis dalam
merealisasikan iman:
"Alasan sistem ibadah merupakan salah satu kelanjutan logis dari sistem
iman, selain adanya hubungan antara iman dan amal, juga dalam kenyataan
historis tak pernah ada sistem kepercayaan yang tumbuh tanpa sedikit
banyak mengintrodusir ritus-ritus, dan iman berbeda dengan sistem ilmu
atau filsafat yang hanya berdimensi rasionalitas, karena iman selalu
memiliki dimensi-dimensi supra rasional atau spiritual yang
mengekspresikan diri dalam tindakan-tindakan kebaktian melalui sistem
ibadah".
Ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an terdiri dari tiga bagian
besar, yakni aqidah, akhlaq, dan amaliyah. Ajaran amaliyah Islam yang
juga disebut sebagai fiqh Al-Qur'an adalah ketentuan hukum yang mengatur
tentang amal usaha seorang mukallaf baik berupa ucapan, tindakan,
perikatan, maupun pengeluaran uang. Ketentuan hukum ayat amaliyah
tersebut kemudian diklasifikasikan oleh para fuqoha ke dalam ilmu fiqh.
Bila ditelusuri lebih jauh, hukum amaliyah juga terbagi dalam dua
kategori. Pertama, kategori hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan-nya atau disebut fiqh ibadah. Persoalan yang diatur dalam wilayah
hukum ini adalah sholat, puasa, zakat, haji, dan persoalan-persoalan
lain yang murni berhubungan dengan Tuhan. Kedua, kategori hukum yang
mengatur kehidupan manusia dengan sesama manusia atau disebut fiqh
muamalah. Persoalan yang diatur dalam wilayah ini adalah keluarga, harta
benda, pidana, ekonomi, politik, dan persoalan-persoalan lain yang
memang menyangkut hubungan antar manusia.
Prinsip dasar yang terdapat dalam fiqh ibadah mengenai konsep isthishab
atau hukum asal segala sesuatu adalah qaidah al-aslu fi al-ibadah
al-hazru, illa ma dalla al-dalil 'ala khilafihi. Yakni hukum asal dalam
persoalan ibadah berorientasi pada larangan, kecuali bila ada dalil lain
yang memperbolehkannya. Dalam pengertian ini, manusia sama sekali tidak
diperkenankan untuk melakukan uji coba dalam memodifikasi atau
memodernisasi cara-cara ibadah tanpa ada petunjuk syar'i. Sebagai
contoh, agar seluruh umat Islam di Indonesia dapat menunaikan ibadah
haji, maka pemerintah menetapkan fatwa bahwa pergi haji cukup dilakukan
di negeri sendiri pada sebuah tempat yang telah ditentukan. Ijtihad
pemerintah seperi ini, sekalipun memberikan kemudahan kepada orang
banyak adalah perbuatan yang dilarang. Sebab kebijakan tersebut
menyangkut masalah ibadah dan bersifat ta'abudi, yakni wa bi dzalik
umirtu wa ana min al-muslimin. Berbeda halnya dengan mengurangi jumlah
rekaat sholat yang empat rekaat menjadi dua rekaat bagi seorang musafir.
Karena memang ada dalil pengecualian yang membolehkan seorang musafir
untuk melakukan hal itu.
Sedangkan dalam fiqh muamalah, qaidah yang berlaku mengenai konsep
isthishab atau hukum asal segala sesuatu adalah al-aslu fi al-muamalah
al-ibahah, illa ma dalla al-dalil 'ala khilafihi. Yakni hukum asal dalam
masalah muamalah berorientasi pada kebolehan, kecuali bila ada dalil
lain yang melarangnya. Dengan ketentuan hukum seperti ini, maka
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syar'i, umat Islam
mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan modifikasi dan
modernisasi berbagai macam cara yang memudahkan baginya dalam melakukan
hubungan sosial kemasyarakatan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mereka miliki.
Bila kita kembalikan pada konsep awal mengenai pembagian ketentuan hukum
dalam al-Qur'an, maka baik fiqh ibadah maupun fiqh muamalah keduanya
merupakan bagian dari hukum amaliyah yang harus dipatuhi dan dijalankan
oleh umat Islam sebagai wujud ibadah atau pengabdian kepada Tuhan. Hanya
saja, Berbeda dengan hukum fiqh ibadah mahdhah yang pure milik Tuhan
dan menyangkut pada keyakinan dan tingkat ketaqwaan seseorang kepada-Nya
terutama terhadap adanya hari pembalasan kelak, maka untuk menghindari
ketidak-jelasan fungsi hukum pada bidang fiqh muamalah yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia, sifat mengikat dan sangsi tegas dalam
hukum merupakan suatu keniscayaan. Sebab tanpa kedua hal tersebut,
pelaksanaan hukum yang ditujukan demi kemaslahatan hidup umat manusia
akan mengalami kendala dan sulit untuk ditegakan.
Berdasarkan penjelasan di atas, harus dibedakan antara ibadah kepada
Tuhan sebagai bentuk pengabdian dengan fiqh ibadah sebagai salah satu
aspek ketentuan hukum amaliyah yang diatur dalam al-Qur'an. Beribadah
kepada Tuhan berarti kita melaksanakan semua ketentuan hukum Tuhan dalam
al-Qur'an, baik itu menyangkut aspek fiqh ibadah maupun fiqh muamalah
dengan tanpa menafikan satu dengan yang lain. Dalam pengertian ini, maka
aktifitas ritual sholat dengan aktifitas muamalah mendirikan LSM untuk
memantau penebangan hutan secara liar sama bernilai ibadah, yakni
sama-sama menjalankan perintah Tuhan. Yang pertama adalah ibadah mahdhah
dalam rangka melaksanakan perintah Tuhan untuk senantiasa ingat
kepada-Nya (Q.S. 20: 14). Sedangkan yang kedua adalah ibadah ghairu
mahdhah untuk menjalankan salah satu tugas dan fungsi kekhalifahan
dengan cara mencegah adanya kerusakan di muka bumi yang memang telah
diamanatkan kepada manusia (Q.S. 2: 30, 7: 56, 33: 72). Persoalan
esensial selanjutnya adalah bagaimana manusia menata niat ketika
menjalankan kedua macam ibadah tersebut. Sholat karena riya' sama tidak
berartinya dengan mendirikan LSM demi untuk mencari pamor. Orientasi dan
niat ikhlas kepada Tuhan semata adalah syarat mutlak bagi manusia dalam
menjalankan aktifitas kehidupan yang dapat bernilai ibadah di sisi
Tuhan, dan bukan pada formalitas ritual maupun muamalahnya.
Keimanan merupakan hal yang paling esensial bagi seorang mukmin, karena
itu tanpa iman seseorang tidak dapat dikatakan mukmin. Keimanan dalam
Islam terdistribusi dalam enam hal yang lazim disebut dengan rukun iman
(arkan al-iman) yaitu iman pada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari
akhir (hari kiamat), dan qadar baik/buruk. Sebagian ulama mengatakan
bahwa keenam hal ini cukup diyakini dalam hati. Sementara yang lain
berpendapat bahwa iman tidak cukup hanya dengan keyakinan dalam hati
saja, tetapi harus diucapkan dengan lisan (lidah), dan diimplementasikan
dalam perbuatan (tashdiq bi al-qalb taqrir bi al-lisan wa al-amal bi
al-arkan).
Perintah untuk beriman (aminu) dalam al-Qur’an sering diikuti dengan
kata berbuat baik (amilu al-shalihat). Hal ini memberikan penekanan pada
umat Islam bahwa seorang muslim tidak cukup hanya beriman tetapi harus
mengimplementasikan nilai-nilai keimanan tersebut dalam kehidupan
sosial. Dalam konteks ini terlihat jelas korelasi antara iman dan amal.
Buah dari keimanan seseorang pada hal-hal di atas membuatnya memiliki
ciri-ciri yang membedakannya dengan komunitas yang tidak beriman
(unbeliever). Di antara ciri-ciri orang yang beriman yang dijelaskan
dalam al-Qur’an adalah; bergetarnya hati ketika disebutkan nama Allah
dan hanya kepada Allahlah ia bertawakal, yaitu menyerahkan segala
keputusan atau hasil usaha kepada Allah setelah berusaha dengan maksimal
(QS. Al-Anfal 2). Selanjutnya terdapat pula ayat yang mengatakan bahwa
orang yang beriman akan memakan makanan-makanan yang baik (al-thayyibat)
dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat (QS. Al-Baqarah 172),
menepati janji (QS. Al-Maidah 1), dll. Ciri-ciri ini melekat pada siapa
saja yang mengaku beriman, sehingga seorang yang mengaku beriman tetapi
tidak memenuhi ciri-ciri tersebut maka keimanannya akan disangsikan
(diragukan atau tidak sempurna).
Salah satu konsekuensi dari keimanan kepada kitab Allah adalah memahami
pesan dan nilai yang terdapat di dalamnya. Dalam al-Qur’an banyak sekali
ayat-ayat yang menyuruh kaum muslimin untuk mempergunakan akal untuk
mencari ilmu pengetahuan. Malah Allah memberikan keistimewaan bagi
mereka dengan memposisikannya lebih tinggi dari yang lainnya (QS.
Al-Mujadalah 11). Sangat mudah menemukan ayat-ayat tentang perintah
mencari ilmu, afala ta’qilun, afala tazakkarun, afala tubshirun, ulu
al-bab, ulu al-nuha, dll, sebaliknya belum ditemukan satu ayatpun yang
mengingkarinya. Kenyataan ini menjadikan Islam sebagai agama yang
rasional, progresif, dan cinta kemajuan. Rasionalitas dalam Islam
memperoleh posisi yang istimewa. Rasulullah bersabda, “al-din huwa
al-aql, la dina liman la ‘aqla lah”, agama itu rasional, maka belumlah
seorang itu dipandang beragama (belum sempurna) ketika belum
mempergunakan rasionya.
Namun demikian pencapaian manusia terhadap ilmu pengetahuan harus tetap
di bawah pengawasan dan kendali agama (baca;Islam). Islam menegaskan
bahwa ilmu pengetahuan harus digali dan dipergunakan sepenuhnya dalam
kerangka ibadah pada Allah. Man izdada ilman lam yazdad huda lam yazdad
ila Allah illa bu’da, barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tidak
bertambah keimanannya, maka sesungguhnya ia akan semakin jauh dari
Tuhannya. Islam mengutuk keras para pencari ilmu yang mempergunakan
ilmunya untuk mencelakakan diri sendiri ataupun masyarakat. Theodore
John Kaczynski dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Si jenius ahli
matematika lulusan Harvard University dan Michigan University ini
dijuluki unabom. Dengan bom yang diciptakannya ia telah membunuh dan
melukai banyak orang selama 17 tahun. Jelas Islam tidak menginginkan
lahirnya Kaczynski-Kaczynski lain yang dengan penemuannya justru
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
Berbicara tentang seni, para ahli sepakat mengatakan bahwa seni sangat
erat hubungannya dengan keindahan. Islam tidak anti seni begitu juga
dengan keindahan. Inna Allah jamil wa yuhibbu al-jamal, Allah itu indah
dan mencintai keindahan. Namun keindahan dalam perspektif manusia tetap
harus berada dalam koridor agama. Sesuatu yang dianggap indah oleh
manusia harus selaras dengan keindahan yang ditetapkan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar