Sabtu, 01 November 2014

Inisiasi VII : POLITIK

Islam adalah agama yang universal. Huwa al-din al-haq al-khalid al-mula’im li al-‘qul, fi kulli ‘ashr wajil wa sya’b wa qabil. Universalitas Islam tercermin pada kompleksitas ajaran-ajaran yang dimilikinya, tidak terkecuali politik. Politik sering diidentikkan dengan kekuasaan, cara mendapatkan dan cara menjalakannya. Islam menegaskan bahwa politik tidaklah bebas nilai, ia harus diatur sedemikian rupa sehingga tujuan yang dinginkan tercapai. Penghalalan segala cara untuk memperoleh kekuasaan politik jelas tidak diperkenankan, ia harus tunduk kepada tuntunan Islam yang nota bene menjadi pedoman hidup guna memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat.
Dari penelaahan terhadap al-Qur’an dan al-Hadits, ada beberapa prinsip yang dapat dijadikan dasar dalam menjalankan aktifitas politik. Di antara prinsip yang dikemukakan al-Qur’an antara lain; 1. Prinsip tentang kedudukan manusia di bumi (QS. Al-Baqarah 30). Ayat ini menegaskan bahwa manusia diberikan kepercayaan oleh Allah untuk menjadi pemimpin di bumi. 2. Prinsip penegakkan supremasi hukum (QS. Al-Nisa’ 58). Ayat ini menjelaskan bahwa pemimpin harus menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan. 3. Prinsip penegakkan kepemimpinan (QS. Ali Imran 118). Ayat ini menjelaskan bahwa kaum muslimin tidaklah diperkenankan memilih pemimpin yang berbeda keyakinan dengan mereka (non-muslim). 4. Prinsip Musyawarah (QS. Ali Imran 159). Ayat ini menegaskan bahwa dalam menjalankan aktifitas politik prinsip musyawarah harus dijalankan. Keputusan diambil secara kolektif yang bermuara pada kemaslahatan bersama. 4. Prinsip persatuan dan persaudaraan (QS. Ali Imran 103). 5. Prinsip persamaan (QS. Al-Hujurat 13). Islam tidak mengenal perbedaan warna kulit, arab dan non arab (Arab wa al-‘ajam), dll. Seluruh manusia sama, hanya ketaqwaanlah yang menjadi pembeda antar mereka. 6. Prinsip tolong-menolong dalam kebaikan (QS. Al-Ma’idah 2). Ayat ini menjelaskan bahwa tolong-menolong hanya untuk kebaikan, tidak dibenarkan berkolaborasi dalam hal-hal yang bertentang dengan Islam. Prinsip-prinsip di atas hanyalah beberapa saja dari prinsip-prinsip politik dalam Islam.
Adapun prinsip-prinsip politik dalam hadits antara lain; 1. Prinsip kebutuhan pada pemimpin (HR. Ahmad). Hadits ini menjelaskan bahwa penegakkan kepemimpinan merupakan suatu keniscayaan dalam suatu komunitas, kendatipun komunitas itu hanya terdiri dari tiga orang saja. 2. Prinsip tanggung jawab (HR. Muttafaq ‘alaih). Hadits ini menginformasikan bahwa seorang pemimpin bukanlah seorang diktator yang dapat melaksanakan kegiatan politik dengan semena-mena, sebab kekuasaan merupakan amanah yang mesti dilakukan dengan penuh dedikasi dan akan dipertanggung jawabkan pada waktunya nanti. 3. Prinsip saling mencintai antara pemimpin dan rakyat (HR. Ahmad). Hadits ini menjelaskan bahwa seorang pemimpin haruslah mencintai rakyatnya dan begitu juga sebaliknya. Prinsip saling mencintai ini akan melahirkan hubungan yang harmonis antar keduanya. 4. Prinsip keta’atan (HR. Al-Bukhari). Masyarakat haruslah ta’at terhadap pemimpin yang telah dipiihnya, dengan catatan ketentuan-ketentuan yang diberikan pemimpin tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Allah. (la tha’at fi ma’shiat Allah). 5. Prinsip persamaan di depan hukum (HR. Ahmad). Hadits ini menginformasikan bahwa hukum mestilah ditegakkan tanpa tebang pilih. Rasulullah SAW dengan tegas mengatakan bahwa kendatipun anak kandungnya (Fatimah RA) melakukan kesalahan, maka akan tetapi dihukum sesuai dengan ketentuan. 6. Prinsip profesionalisme (HR. Al-Bukhari). Hadits ini menjelaskan bahwa seorang pemimpin haruslah dipilih sesuai kemampuannya, sebab ketika kepercayaan diberikan pada yang bukan profesional maka fa intazhir al-sa’ah, tunggulah kehancurannya.
Prinsip-prinsip politik yang ketengahkan di atas adalah prinsip-prinsip dasar yang mesti dipatuhi umat Islam dalam menjalankan aktifitas politiknya. Konsistensi dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut memberikan garansi kesuksesan dalam aktifitas politik umat Islam. Dalam konteks ke-Indonesiaan yang nota bene masyarakatnya mayoritas muslim seharusnya konstelasi politik dapat berjalan dengan baik. Namun pada kenyataanya idealisme tersebut ternyata masih jauh dari kenyataan. Aktivitas perpolitikan di Indonesia terlihat jelas melanggar dan keluar dari prinsip-prinsip yang diketengahkan Islam. Penegakkan hukum yang terkesan tebang pilih, kegiatan ekonomi yang tidak berorientasi pada kemaslahatan rakyat, pengangkatan pejabat yang tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme, dll, hanyalah beberapa saja dari banyaknya defiasi yang terjadi. Untuk itu kembali pada Islam dan berkomitmen padanya merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh kesuksesan dalam politik yang bertujuan memberikan kebahagiaan dunia-akhirat.
Piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah ketika hidup berdampingan dengan orang-orang Yahudi adalah contoh model rujukan umat Islam dalam memaknai rumusan politik Islam. Bahwa dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan atau ibadah mu`amalah, keberadaan politik tidak boleh berlaku parsial hanya untuk mereka yang meyakini kebenaran ajaran Islam. Tetapi bagaimana menjadikan keyakinan terhadap Islam sebagai upaya untuk menciptakan keadilan demi kemanusiaan. Ilustrasinya adalah sebagai al-insan atau mahluk individual, manusia mempunyai kewajiban untuk beribadah kepada Allah sesuai dengan keyakinannya kepada Islam. Namun disisi lain, keyakinan tersebut juga menuntut kepadanya selaku al-nas atau mahluk sosial untuk mewujudkan kemaslahatan hidup bersama tanpa membedakan keyakinan agama atau aqidah seseorang. Dengan demikian diharapkan kesadaran untuk memberlakukan politik Islam tidak terjebak pada formalisme yang bersifat simbolis. Karena hal tersebut dapat mereduksi universalisme politik Islam menjadi parsial.
Kesadaran umat Islam untuk memperjuangkan politik Islam seharusnya dilakukan dengan cara memberikan corak  perpolitikan di Indonesia berdasarkan konsep moral atau akhlaq ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam tataran praktis, umat Islam harus mampu menurunkan konsep keadilan, kejujuran, dan persaudaraan universal menjadi sebuah teori politik yang dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pembangunan manusia seutuhnya. Dengan kata lain, upaya umat Islam untuk menjadikan Islam sebagai panduan berpolitik di Indonesia tidak terletak pada bentuk formalnya. Melainkan pada esensi ajaran Islam yang berdasarkan keyakinan terhadap Ketuhanan Yang maha Esa. Dimana ajaran tentang kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi sebuah keniscayaan proses sejarah demi mewujudkan cita-cita Founding Fathers kita, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan diharapkan di masa mendatang, cara pandang seperti ini mampu menjadi contoh model pembangunan politik internasional yang berorientasi pada kebaikan hidup umat manusia secara universal, semoga...

Inisiasi VI : IMAN, ILMU, SENI DAN AMAL

Iman ialah isim masdar dari fi'il tsulasi mazid amana-yu'minu-imanan mengikuti pola wazan af'ala-yuf'ilu-if’alan yang berfaedah muta'adi dengan makna menenangkan, mengamankan atau mempercayai. Berbeda dengan fi'il tsulasi mujaradnnya amina-ya'manu-amnan wa amanan wa amanatan yang hanya berfaedah lazim dan bermakna tenang, aman atau amanat (kepercayaan), kata iman dibentuk dari kata kerja aktif yang mempunyai indikator adanya usaha dan proses dalam mencapai suatu tujuan. Karena berdasarkan ketentuan dalam ilmu sharaf, pengertian fi'il muta'adi adalah kata kerja yang selalu membutuhkan maf’ul atau obyek. Dalam hal ini, lafadz amana dengan seluruh derivasi waqe' dan shighatnya tidak dapat langsung bertemu dengan apa yang ditujunya sebagai obyek, kecuali dengan perantaraan huruf al-jar yakni huruf ba' (Muta'adi bi harf al-jar). Ketentuan tersebut setidaknya memberikan suatu penjelasan bahwa seorang yang mempercayai Tuhan dan berharap dapat bertemu dengan-Nya, maka terlebih dahulu ia harus merealisasikan keimanannya dengan perantaraan aktifitas-aktifitas positif.  Mafhum mukhalafahnya, orang yang beriman tanpa dibarengi dengan aktifitas positif mustahil dapat bertemu dengan Tuhan.
Dalam pengertian lain, iman dapat juga diartikan sebagai komitmen manusia untuk menjalankan amanat Tuhan (Q.S. 33: 72). Dalam hal ini, wazan amana-yu’minu-imanan bermakna muthawwa’ah atau menerima konsekuensi suatu pekerjaan (amanat) dari bentuk mujarradnya (amina-ya’manu) yang berfaedah lazim. Berdasarkan pengertian ini, orang beriman atau “mukmin” tidak lain adalah “mandataris” Tuhan yang berkewajiban untuk melaksanakan “amanat” ketetapan-Nya dalam al-Qur’an. Di sisi lain, orang beriman diharapkan jangan sampai berkhianat (lawan dari amanat) kepada Tuhan dan Rasul-Nya. Yakni dengan tidak menjalankan atau mengkhianati amanat kekhalifahan yang telah dipercayakan kepadanya sebagai manusia hanya demi untuk kepentingan harta (ekonomi) dan anak (bangsa) sendiri. Karena sesungguhnya, harta dan anak keturunan dijadikan Tuhan sebagai cobaan (Q.S. 8: 27-28).
Iman sering diartikan sebagai pernyataan lisan yang diyakini kebenarannya oleh hati nurani serta direalisasikan dengan amal perbuatan. Menurut Abdul Majid Zindani, iman merupakan keyakinan dan amal aktif insan yang meliputi: amal hati, amal lisan, dan amal perbuatan.  Barangkali pendapat Zindani ini merupakan analisisnya mengenai uslub al-Qur'an yang sering merangkai kata iman dengan kata amal sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.
Pengertian dan penjelasan singkat tentang makna iman di atas membawa pada suatu kesimpulan bahwa iman seseorang tidak akan punya arti bila tidak dibarengi dengan amal perbuatan sebagai bentuk ibadah atau pengabdian kepada sesuatu yang ia dengan sangat yakin mempercayai-Nya. Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa ibadah adalah konsekuensi logis yang harus direalisasikan seseorang dalam bentuk konkrit sebagai bukti keimanannya. Untuk lebih memperjelas masalah ini, berikut pendapat Nurcholis Madjid ketika berbicara tentang adanya keharusan logis dalam merealisasikan iman:
"Alasan sistem ibadah merupakan salah satu kelanjutan logis dari sistem iman, selain adanya hubungan antara iman dan amal, juga dalam kenyataan historis tak pernah ada sistem kepercayaan yang tumbuh tanpa sedikit banyak mengintrodusir ritus-ritus, dan iman berbeda dengan sistem ilmu atau filsafat yang hanya berdimensi rasionalitas, karena iman selalu memiliki dimensi-dimensi supra rasional atau spiritual yang mengekspresikan diri dalam tindakan-tindakan kebaktian melalui sistem ibadah".

Ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an terdiri dari tiga bagian besar, yakni aqidah, akhlaq, dan amaliyah. Ajaran amaliyah Islam yang juga disebut sebagai fiqh Al-Qur'an adalah ketentuan hukum yang mengatur tentang amal usaha seorang mukallaf baik berupa ucapan, tindakan, perikatan, maupun pengeluaran uang. Ketentuan hukum ayat amaliyah tersebut kemudian diklasifikasikan oleh para fuqoha ke dalam ilmu fiqh.  Bila ditelusuri lebih jauh, hukum amaliyah juga terbagi dalam dua kategori. Pertama, kategori hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-nya atau disebut fiqh ibadah. Persoalan yang diatur dalam wilayah hukum ini adalah sholat, puasa, zakat, haji, dan persoalan-persoalan lain yang murni berhubungan dengan Tuhan. Kedua, kategori hukum yang mengatur kehidupan manusia dengan sesama manusia atau disebut fiqh muamalah. Persoalan yang diatur dalam wilayah ini adalah keluarga, harta benda, pidana, ekonomi, politik, dan persoalan-persoalan lain yang memang menyangkut hubungan antar manusia.
Prinsip dasar yang terdapat dalam fiqh ibadah mengenai konsep isthishab atau hukum asal segala sesuatu adalah qaidah al-aslu fi al-ibadah al-hazru, illa ma dalla al-dalil 'ala khilafihi. Yakni hukum asal dalam persoalan ibadah berorientasi pada larangan, kecuali bila ada dalil lain yang memperbolehkannya. Dalam pengertian ini, manusia sama sekali tidak diperkenankan untuk melakukan uji coba dalam memodifikasi atau memodernisasi cara-cara ibadah tanpa ada petunjuk syar'i. Sebagai contoh, agar seluruh umat Islam di Indonesia dapat menunaikan ibadah haji, maka pemerintah menetapkan fatwa bahwa pergi haji cukup dilakukan di negeri sendiri pada sebuah tempat yang telah ditentukan. Ijtihad pemerintah seperi ini, sekalipun memberikan kemudahan kepada orang banyak adalah perbuatan yang dilarang. Sebab kebijakan tersebut menyangkut masalah ibadah dan bersifat ta'abudi, yakni wa bi dzalik umirtu wa ana min al-muslimin. Berbeda halnya dengan mengurangi jumlah rekaat sholat yang empat rekaat menjadi dua rekaat bagi seorang musafir. Karena memang ada dalil pengecualian yang membolehkan seorang musafir untuk melakukan hal itu.
Sedangkan dalam fiqh muamalah, qaidah yang berlaku mengenai konsep isthishab atau hukum asal segala sesuatu adalah al-aslu fi al-muamalah al-ibahah, illa ma dalla al-dalil 'ala khilafihi. Yakni hukum asal dalam masalah muamalah berorientasi pada kebolehan, kecuali bila ada dalil lain yang melarangnya. Dengan ketentuan hukum seperti ini, maka sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syar'i, umat Islam mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan modifikasi dan modernisasi berbagai macam cara yang memudahkan baginya dalam melakukan hubungan sosial kemasyarakatan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki.
Bila kita kembalikan pada konsep awal mengenai pembagian ketentuan hukum dalam al-Qur'an, maka baik fiqh ibadah maupun fiqh muamalah keduanya merupakan bagian dari hukum amaliyah yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh umat Islam sebagai wujud ibadah atau pengabdian kepada Tuhan. Hanya saja, Berbeda dengan hukum fiqh ibadah mahdhah yang pure milik Tuhan dan menyangkut pada keyakinan dan tingkat ketaqwaan seseorang kepada-Nya terutama terhadap adanya hari pembalasan kelak, maka untuk menghindari ketidak-jelasan fungsi hukum pada bidang fiqh muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, sifat mengikat dan sangsi tegas dalam hukum merupakan suatu keniscayaan. Sebab tanpa kedua hal tersebut, pelaksanaan hukum yang ditujukan demi kemaslahatan hidup umat manusia akan mengalami kendala dan sulit untuk ditegakan.
Berdasarkan penjelasan di atas, harus dibedakan antara ibadah kepada Tuhan sebagai bentuk pengabdian dengan fiqh ibadah sebagai salah satu aspek ketentuan hukum amaliyah yang diatur dalam al-Qur'an. Beribadah kepada Tuhan berarti kita melaksanakan semua ketentuan hukum Tuhan dalam al-Qur'an, baik itu menyangkut aspek fiqh ibadah maupun fiqh muamalah dengan tanpa menafikan satu dengan yang lain. Dalam pengertian ini, maka aktifitas ritual sholat dengan aktifitas muamalah mendirikan LSM untuk memantau penebangan hutan secara liar sama bernilai ibadah, yakni sama-sama menjalankan perintah Tuhan. Yang pertama adalah ibadah mahdhah dalam rangka melaksanakan perintah Tuhan untuk senantiasa ingat kepada-Nya (Q.S. 20: 14). Sedangkan yang kedua adalah ibadah ghairu mahdhah untuk menjalankan salah satu tugas dan fungsi kekhalifahan dengan cara mencegah adanya kerusakan di muka bumi yang memang telah diamanatkan kepada manusia (Q.S. 2: 30, 7: 56, 33: 72). Persoalan esensial selanjutnya adalah bagaimana manusia menata niat ketika menjalankan kedua macam ibadah tersebut. Sholat karena riya' sama tidak berartinya dengan mendirikan LSM demi untuk mencari pamor. Orientasi dan niat ikhlas kepada Tuhan semata adalah syarat mutlak bagi manusia dalam menjalankan aktifitas kehidupan yang dapat bernilai ibadah di sisi Tuhan, dan bukan pada formalitas ritual maupun muamalahnya.

Keimanan merupakan hal yang paling esensial bagi seorang mukmin, karena itu tanpa iman seseorang tidak dapat dikatakan mukmin. Keimanan dalam Islam terdistribusi dalam enam hal yang lazim disebut dengan rukun iman (arkan al-iman) yaitu iman pada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir (hari kiamat), dan qadar baik/buruk. Sebagian ulama mengatakan bahwa keenam hal ini cukup diyakini dalam hati. Sementara yang lain berpendapat bahwa iman tidak cukup hanya dengan keyakinan dalam hati saja, tetapi harus diucapkan dengan lisan (lidah), dan diimplementasikan dalam perbuatan (tashdiq bi al-qalb taqrir bi al-lisan wa al-amal bi al-arkan).
Perintah untuk beriman (aminu) dalam al-Qur’an sering diikuti dengan kata berbuat baik (amilu al-shalihat). Hal ini memberikan penekanan pada umat Islam bahwa seorang muslim tidak cukup hanya beriman tetapi harus mengimplementasikan nilai-nilai keimanan tersebut dalam kehidupan sosial. Dalam konteks ini terlihat jelas korelasi antara iman dan amal.
Buah dari keimanan seseorang pada hal-hal di atas membuatnya memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan komunitas yang tidak beriman (unbeliever). Di antara ciri-ciri orang yang beriman yang dijelaskan dalam al-Qur’an adalah; bergetarnya hati ketika disebutkan nama Allah dan hanya kepada Allahlah ia bertawakal, yaitu menyerahkan segala keputusan atau hasil usaha kepada Allah setelah berusaha dengan maksimal (QS. Al-Anfal 2). Selanjutnya terdapat pula ayat yang mengatakan bahwa orang yang beriman akan memakan makanan-makanan yang baik (al-thayyibat) dan senantiasa bersyukur atas segala nikmat (QS. Al-Baqarah 172), menepati janji (QS. Al-Maidah 1), dll. Ciri-ciri ini melekat pada siapa saja yang mengaku beriman, sehingga seorang yang mengaku beriman tetapi tidak memenuhi ciri-ciri tersebut maka keimanannya akan disangsikan (diragukan atau tidak sempurna).
Salah satu konsekuensi dari keimanan kepada kitab Allah adalah memahami pesan dan nilai yang terdapat di dalamnya. Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyuruh kaum muslimin untuk mempergunakan akal untuk mencari ilmu pengetahuan. Malah Allah memberikan keistimewaan bagi mereka dengan memposisikannya lebih tinggi dari yang lainnya (QS. Al-Mujadalah 11). Sangat mudah menemukan ayat-ayat tentang perintah mencari ilmu, afala ta’qilun, afala tazakkarun, afala tubshirun, ulu al-bab, ulu al-nuha, dll, sebaliknya belum ditemukan satu ayatpun yang mengingkarinya. Kenyataan ini menjadikan Islam sebagai agama yang rasional, progresif, dan cinta kemajuan. Rasionalitas dalam Islam memperoleh posisi yang istimewa. Rasulullah bersabda, “al-din huwa al-aql, la dina liman la ‘aqla lah”, agama itu rasional, maka belumlah seorang itu dipandang beragama (belum sempurna) ketika belum mempergunakan rasionya.
Namun demikian pencapaian manusia terhadap ilmu pengetahuan harus tetap di bawah pengawasan dan kendali agama (baca;Islam). Islam menegaskan bahwa ilmu pengetahuan harus digali dan dipergunakan sepenuhnya dalam kerangka ibadah pada Allah. Man izdada ilman lam yazdad huda lam yazdad ila Allah illa bu’da, barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tidak bertambah keimanannya, maka sesungguhnya ia akan semakin jauh dari Tuhannya. Islam mengutuk keras para pencari ilmu yang mempergunakan ilmunya untuk mencelakakan diri sendiri ataupun masyarakat. Theodore John Kaczynski dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Si jenius ahli matematika lulusan Harvard University dan Michigan University ini dijuluki unabom. Dengan bom yang diciptakannya ia telah membunuh dan melukai banyak orang selama 17 tahun. Jelas Islam tidak menginginkan lahirnya Kaczynski-Kaczynski lain yang dengan penemuannya justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
Berbicara tentang seni, para ahli sepakat mengatakan bahwa seni sangat erat hubungannya dengan keindahan. Islam tidak anti seni begitu juga dengan keindahan. Inna Allah jamil wa yuhibbu al-jamal, Allah itu indah dan mencintai keindahan. Namun keindahan dalam perspektif manusia tetap harus berada dalam koridor agama. Sesuatu yang dianggap indah oleh manusia harus selaras dengan keindahan yang ditetapkan agama.

Inisiasi V : HUKUM

Walaupun telah diakui oleh para sarjana ahli hukum bahwa tidak ada definisi yang baku terhadap hukum. Namun demikian sifat hukum yang mengatur dan memaksa bagi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu adalah keniscayaan agar sangsi hukum tetap dapat ditegakan kepada mereka yang melanggarnya.1) Hal ini disebabkan karena hukum bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia secara damai,2) yang oleh bangsa Jerman  kuno disebut vrede. Oleh sebab itu pula bangsa Jerman kuno menyebut putusan hakim sebagai perintah damai (vredeban atau vredegebod). Sedangkan penjahat mereka sebut sebagai tak berdamai (vredeloos) dan kejahatan mereka anggap sebagai pemutus damai (vredebreuk).3)
Dalam literatur Islam, hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sedangkan menurut syari’at adalah firman Tuhan yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik itu berupa tuntutan, pilihan, maupun wadl’i.4) Merujuk pada kedua pengertian definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan hukum dalam ajaran Islam adalah suatu ketetapan yang dibuat oleh Tuhan untuk mengatur perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, maupun wadl’i dan bersifat mengikat.
Dalam perspektif hukum Islam, Allah adalah hakim yang paling sempurna dan paling adil (QS. al-Tin 8). Hukum yang dibuat Allah terdistribusi pada ayat-ayat Allah (tanda-tanda kebesaran Allah). Ayat-ayat tersebut terbagi dua, ayat qauliyah yaitu firman Allah yang terdapat dalam al-Qur’an, dan ayat kauniyah yaitu alam ciptaan Allah.

Para ulama sepakat mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan sumber utama (mashdar al-uzma) dalam penerapakan hukum Islam. Dari penelaahan mendalam yang mereka lakukan ditemukan bahwa terdapat 5 jenis hukum dalam Islam. Pertama wajib yaitu sebuah perbuatan yang apabila dikerjakan maka pelakunya memperoleh pahala namun apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa. Kedua sunnah yaitu sebuah perbuatan yang apabila dikerjakan maka pelakunya memperoleh pahala namun apabila ditinggalkan tidak mengakibatkan dosa. Ketiga mubah yaitu sebuah perbuatan yang apabila dikerjakan maka pelakunya tidak memperoleh pahala, bagitu juga apabila ditinggalkan tidak memperoleh dosa. Keempat makruh yaitu sebuah perbuatan yang apabila dikerjakan tidak mengakibatkan dosa namun merupakan sesuatu yang dibenci Allah, apabila ditinggalkan akan memperoleh pahala. Kelima haram yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan maka pelakunya akan memperoleh dosa namun apabila ditinggalkan akan memperoleh pahala.
Berbicara tentang posisi kerasulan Muhammad SAW dalam perspektif hukum Islam, para ulama sepakat mengatakan bahwa apapun yang dikatakan, dilakukan, ditetapkan oleh Rasulullah juga merupakan sumber hukum. Perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah tersebut disebut dengan sunnah Rasulullah (baca;sunnah). Rasulullah sering disebut sebagai al-Qur’an berjalan dalam arti seluruh tindak tanduknya merupakan penerjemahan dari nilai-nilai al-Qur’an. Posisi sunnah berada di bawah al-Qur’an. Apabila ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an memuat hal-hal yang abstrak dan umum (garis besar), maka sunnah berfungsi sebagai penjelas (tabyin) bagi hal-hal tersebut. Sebagai contoh dalam al-Qur’an terdapat kewajiban sholat, namun cara melaksanakan tidak dijelaskan dengan rinci. Untuk itu dibutuhkan sunnah guna menjelaskannya. Dengan demikian antara al-Qur’an dengan sunnah merupakan dua hal yang tidak boleh dikesampingkan oleh umat Islam. Mengherankan memang apabila ada segelintir umat Islam yang hanya mau mempergunakan al-Qur’an saja sebagai sumber hukum dengan menegasikan (meniadakan) sunnah yang notabene merupakan penjelasan yang tidak bisa dipisahkan dari al-Qur’an. Kelompok ini sering diidentifikasi sebagai inkar al-sunnah (Pengingkar sunnah).
Bagi umat Islam keharusan untuk menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum merupakan hal mutlak dilakukan. Pembuat hukum dalam al-Qur’an adalah Allah, Zat Yang Maha atas segala-galanya, sehingga tidak ada sedikitpun peluang atau ruang untuk keliru/salah. Sementara sunnah merupakan tindakan, perbuatan, ketetapan dari Rasulullah, pribadi agung yang merupakan penerjemahan dari al-Qur’an dalam segala tindak-tanduknya. Rasulullah memberikan jaminan keselamatan (lan tadhillu abada) bagi orang-orang yang menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum dalam menjalani kehidupan baik secara individu ataupun bermasyarakat.
--------------------
  1). Drs. C.S.T. Kansil, S.H. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), Jilid I, cet. IX, hal. 11-13.
  2). Ibid., hal. 15.
  3). Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), cet. III, hal 17-18.
  4). Abdul Hamid Hakim, As-Sulam, (Jakarta: Sa'adiyah Putra, tt), hal. 7. Lebih jauh lihat, Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, (tk: Daar al-Fikr al-Arabi, 1958), hal. 26. Dan juga, Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Al-Qohiroh: Daar al-Quwaitiyah, 1968), cet. VIII, hal. 100.

Inisiasi IV : tentang Hukum

Menumbuhkan Kesadaran untuk Taat terhadap Hukum Allah SWT
Para ulama mendefinisikan hukum syari’at/hukum Islam adalah seperangkat aturan yang berasal dari pembuat syari’at (Allah SWT)  yang berhubungan dengan perbuatan manusia, yang menuntut agar dilakukan suatu perintah atau ditinggalkan suatu larangan atau yang memberikan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan.
Secara garis besar hukum Islam terbagi menjadi lima macam: Pertama, Wajib; yaitu suatu perbuatan apabila dikerjakan oleh seseorang, maka orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala dan apabila perbuatan itu ditinggalkan maka akan mendapat siksa. Kedua, Sunnah (mandub), yaitu perbuatan apabila dikerjakan maka orang yang mengerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan maka orang yang meninggalkan tersebut tidak mendapat siksa.
Hukum yang ketiga adalah haram, yaitu segala perbuatan yang apabila perbuatan itu ditinggalkan akan mendapat pahala sementara apabila dikerjakan maka orang tersebut akan mendapat siksa. Yang keempat adalah makruh, yaitu satu perbuatan disebut makruh apabila perbuatan tersebut ditinggalkan maka orang yang meninggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan maka orang tersebut tidak mendapat siksa. Yang kelima adalah mubah yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan orang yang mengerjakan tidak mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Sementara prinsip-prinsip hukum dalam Islam oleh para ulama dijelaskan sebanyak tujuh prinsip. Ketujuh prinsip tersebut adalah Prinsip Tauhid, Prinsip Keadilan, Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar, Prinsip al-Hurriyah (Kebebasan dan Kemerdekaan), Prinsip Musawah (Persamaan/Egaliter), Prinsip ta’awun (Tolong-menolong), Prinsip Tasamuh (Toleransi).

Fungsi Profetik Agama (Kerasulan Nabi Muhammad SAW) dalam Hukum Islam
Petunjuk Allah SWT dalam al-Qur’an hanya dapat dilaksanakan dengan syarat mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Inilah yang kemudian disebut dengan sunnah Nabi SAW atau hadits. Secara sederhana diartikan dengan segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi SAW.
Urgensi sunnah Nabi SAW dalam hukum Islam ditegaskan dengan beberapa argumen, di antaranya adalah:
1.Iman. Salah satu konsekuensi beriman kepada Allah SWT adalah menerima segala sesuatu yang bersumber dari para utusan-Nya (khususnya Nabi Muhammad SAW).
2.Al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan kewajiban taat kepada Rasulullah SAW.
3.Di antara argumen tentang posisi sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam dijelaskan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW dalam beberapa haditsnya.
4.Di antara argumen tentang posisi sunnah sebagai sumber hukum Islam adalah berdasarkan konsensus umat Islam.
5.Al-Qur’an yang bersisi petunjuk dari Allah secara umum masih bersifat global, sehingga perlu ada penjelasan. Sekiranya tidak ada Hadits Nabi SAW maka ajaran al-Qur’an tidak dapat dilaksanakan secara baik.
Posisi sunnah Nabi SAW terhadap al-Qur’an sangat penting di antaranya adalah untuk menguatkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, menjelaskan apa yang masih global dalam al-Qur’an, bahkan menetapkan hukum secara mandiri yang tidak terkait langsung dengan al-Qur’an.

Inisiasi III : Masyarakat Beradab, Peran Umat Beragama,HAM dan Demokrasi.

Masyarakat adalah sejumlah individu yang hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu,bergaul dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan kesadaran pada diri setiap anggotanya sebagai suatu kesatuan. Asal usul pembentukan masyarakat bermula dari fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain. Dari fitrah ini kemudian mereka berinteraksi satu sama lain dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan hubungan sosial yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran akan kesatuan. Untuk menjaga ketertiban daripada hubungan sosial itu, maka dibuatlah sebuah peraturan.
Dalam perkembangan berikutnya,seiring dengan berjumlahnya individu yang menjadi anggota tersebut dan perkembangan kebudayaan, masyarakat berkembang menjadi sesuatu yang kompleks. Maka muncullah lembaga sosial, kelompok sosial, kaidah-kaidah sosial sebagai struktur masyarakat dan proses sosial dan perubahan sosial sebagai dinamika masyarakat. Atas dasar itu, para ahli sosiologi menjelaskan masyarakat dari dua sudut: struktur dan dinamika.
Masyarakat beradab dan sejahtera dapat dikonseptualisasikan sebagai civil society atau masyarakat madani. Meskipun memeliki makna dan sejarah sendiri, tetapi keduanya, civil society dan masyarakat madani merujuk pada semangat yang sama sebagai sebuah masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, sejahtera, dengan kesadaran ketuhanan yang tinggi yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial.
Prinsip masyarakat beradab dan sejahtera (masyarakat madani) adalah keadilan sosial, egalitarianisme, pluralisme, supremasi hukum, dan pengawasan sosial. Keadilan sosial adalah tindakan adil terhadap setiap orang dan membebaskan segala penindasan. Egalitarianisme adalah kesamaan tanpa diskriminasi baik etnis, agama, suku, dll. Pluralisme adalah sikap menghormati kemajemukan dengan menerimanya secara tulus sebagai sebuah anugerah dan kebajikan. Supremasi hukum adalah menempatkan hukum di atas segalanya dan menetapkannya tanpa memandang “atas” dan “bawah”.
Sejak terminologi bangsa dan negara dipahami secara negatif menjadi batas kultural dan teritorial bagi hubungan antar umat manusia di belahan dunia ini, praktis eksistensi sejarah peradaban manusia hanya bermain pada wilayah kepentingan kedua batasan tersebut. Kalau tidak atas nama bangsa tertentu, maka kepentingan negara tertentu menjadi dasar pertimbangan seorang manusia dalam menentukan sikap hidupnya. Sejarah telah mencatat, betapa bangsa  Jerman dengan mengatasnamakan “Blut und Boden” darah dan tanah air, yakni ras bangsa Aria dan negara Jerman mencoba mengkebiri hak orang-orang Yahudi dengan cara membantai mereka. Bahkan sampai dengan saat ini, kita masih dapat menyaksikan bagaimana bangsa Yahudi (Israel) dan bangsa Arab (Palestina) terus menerus berperang demi membela kepentingan bangsa dan negara mereka masing-masing.
Menurut ajaran Islam, keaneka-ragaman bangsa dan negara adalah sunannatullah. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Islam melegitimasi adanya pengotakan manusia berdasarkan batas-batas wilayah teritorial dan kultural secara negatif, untuk kemudian menjelma menjadi sebuah primodialisme kebangsaan dan kenegaraan tanpa memperdulikan bangsa dan negara lain. Semangat yang ingin disampaikan dalam perbedaan tersebut tiada lain dimaksudkan agar manusia dapat terpacu untuk bersaing secara positif dalam berbuat kebajikan. Dalam surat al-Ma’idah ayat 48 Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan sebagai satu umat. Tetapi Allah hendak menguji terhadap apa yang telah Ia berikan kepadamu. Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan.”

Oleh karena itu, manusia yang berkulit hitam atau putih, miskin-kaya, laki atau perempuan adalah sama. Tidak ada jaminan bahwa mereka yang berkulit putih lebih memiliki keunggulan dan hak istimewa dari pada mereka yang berkulit hitam. Kemiskinan tidaklah berarti bahwa ia tidak memiliki hak untuk dapat hidup sebagai seorang manusia. Demikian pula halnya dengan jenis kelamin, laki dan perempuan memiliki peluang dan kesempatan yang sama dalam hidupnya. Tidak ada diskriminasi ras, suku bangsa, negara ataupun gender. Manusia adalah manusia, satu-satunya yang membuat mereka beda adalah karena usaha dan kerja kerasnya dalam berbuat kebajikan guna mencapai derajat ketaqwaan. Yakni mematuhi segala perintah Tuhan, baik yang menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-nya maupun horisontal antara manusia dengan sesama manusia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural di mana bangsa ini terdiri dari pelbagai macam suku, bahasa, etnis, agama, dll. meskipun plural, bangsa ini terikat oleh kesatuan kebangsaan akibat pengalaman yang sama: penjajahan yang pahit dan getir. Kesatuan kebangsaan itu dideklarasikan melalui Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan ikrar: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Kesatuan kebangsaan momentum historisnya ada pada Pancasila ketika ia dijadikan sebagai falsafah dan ideologi negara. Jika dibandingkan, ia sama kedudukannya dengan Piagam Madinah. Keduanya, Pancasila dan Piagam Madinah merupakan platform bersama semua kelompok yang ada untuk mewujudkan cita-cita bersama, yakni masyarakat madani.
Salah satu pluralitas bangsa Indonesia adalah agama. Karena itu peran umat beragama dalam mewujudkan masyarakat madani sangat penting. Peran itu dapat dilakukan, antara lain, melalui dialog untuk mengikis kecurigaan dan menumbuhkan saling pengertian, melakukan studi-studi agama, menumbuhkan kesadaran pluralisme, dan menumbuhkan kesadaran untuk bersama-sama mewujudkan masyarakat madani. Dalam surat al-Hujarat 13 Allah telah berfirman:
Artinya:
“Wahai manusia, telah Aku jadikan kamu dari laki-laki dan perempuan. Dan Aku jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu menurut Tuhan adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu sekalian.

Lafadz li-ta’arafu (agar saling kenal mengenal) pada ayat di atas adalah alasan atau ta’lil dari kekuasaan Tuhan yang menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa (Syu’uban wa qabaila) untuk saling mengenal. Lam ta’lil yang ada pada lafadz li-ta’arafu tersebut bukan penjelasan bagi hubungan antara laki-laki dan perempuan (zakar wa-untsa) Urgensi kalimat zakar wa untsa lebih menunjuk pada makna keadilan bahwa setiap manusia berkedudukan sama di depan hukum karena dilahirkan dari Adam dan Hawa atau kaum bapak dan kaum ibu.*1)  Lebih jauh lagi dapat penulis katakan bahwa sighat ta’arafa yang mengikuti pola wazan tafa’ala dengan makna muthawa’ah bain al-itsnain fa-aktsar atau saling berbuat antara dua orang atau lebih ini memiliki kata dasar atau fi’il tsulasi mujarrad yang sama dengan lafadz ma’ruf yang berarti kebaikan. Kesimpulannya, pola saling kenal mengenal harus bermakna positif atau mengandung nilai kebaikan bagi kehidupan sosial umat manusia.

Pada awal abad 21 di mana jargon hak asasi manusia dalam setiap aspek kehidupan gencar dikampanyekan, ternyata masih saja ditemukan orang-orang terlantar yang kelaparan. Sementara di belahan dunia yang kaya, mereka menghamburkan ratusan juta dolar untuk sekedar membuat tontonan sebuah film kekerasan dengan bumbu seks yang seringkali menjadi sumber inspirasi bagi manusia dalam melakukan tindak kriminal. Tak salah bila ada asumsi yang meremehkan bahwa era globalisasi hanya mampu mengubah gaya hidup seseorang tetapi tidak untuk tujuan hidup orang itu sendiri.*2)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah wewenang manusia yang bersifat dasar sebagai manusia untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu baik yang bersifat materi maupun immateri. Secara historis, pandangan terhadap kemanusiaan di Barat bermula dari para pemikir Yunani Kuno yang menggagas humanisme. Pandangan humanisme, kemudian dipertegas kembali pada zaman Renaissance. Dari situ kemudian muncul pelbagai kesepakatan nasional maupun internasional mengenai penghormatan hak-hak asasi manusia. Puncaknya adalah ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Declaration of Human Right, disusul oleh ketentuan-ketentuan lain untuk melengkapi naskah tersebut.


Sama halnya dengan hak asasi manusia, demokrasi yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, secara historis telah ada sejak zaman Yunani Kuno sebagai respons terhadap pemerintahan otoriter yang tidak menutup partisipasi rakyat dalam setiap keputusan-keputusan publik. Melalui sejarah yang panjang, sekarang demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik yang harus dianut oleh semua negara untuk kebaikan rakyat yang direalisasikan melalui hak asasi manusia. Hak asasi manusia hanya bisa diwujudkan dalam suatu sistem yang demokrasi di mana semua warga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Meskipun tidak secara formal dalam bentuk lembaga, perintah untuk melakukan musyawarah telah menjadi suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan dalam ajaran Islam, agar nasib orang banyak tidak dipermainkan oleh suatu keputusan otoriter seseorang yang biasanya cenderung mengabaikan rasa keadilan sosial. Dalam surat as-Syura ayat 38 Allah SWT. telah berfirman:
Artinya:
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka”.
Dalam surat lain yang ditujukan kepada Rasul-Nya dan untuk menjadi teladan bagi umat Islam, yakni Alu Imran ayat 159 Allah SWT. juga berfirman:
Artinya:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…”.
Banyak teladan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah kepada umatnya dalam mengambil keputusan dengan cara musyawarah, meskipun secara pribadi keputusan tersebut bertentangan dengan pendapat Rasul. Diantaranya yang cukup penting untuk dikemukakan di sini adalah keputusan pada saat terjadinya perang Uhud. Saat itu terdapat dua pilihan, apakah kaum muslimin akan menggunakan taktik menyerang, keluar dari kota Madinah menyongsong musuh (offensif) atau bertahan di kota Madinah (defensif). Dalam hal ini, Rasulullah dan beberapa orang sahabat memilih alternatif kedua, yakni tetap tinggal di Madinah. Sedangkan pendapat mayoritas cenderung memilih alternatif pertama, keluar dari Madinah untuk menyongsong kedatangan musuh. Akhirnya, Rasulullah beserta para sahabat melaksanakan keputusan berdasarkan suara terbanyak tersebut.*3)

------------------------------------------------
  Syaikh Nawawi al-Bantani, Murah Labib Tafsir an-Nawawi, (tk: Daar al-Fikr, 1981), juz II, hal. 316.
2 Bondan Winarno, Tongkrongan Global, Paradigma Lokal, Kompas, 28 Juni 2000, hal. 67.
3 Muhammad Rasyid Ridla, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, hal. 463.

Inisiasi II : KONSEP KEKHALIFAHAN MANUSIA

KONSEP KEKHALIFAHAN MANUSIA
(Muhamad Nurdin)

Sejarah eksistensi manusia dalam kandungan cerita al-Qur’an adalah episode kedua dari lanjutan sejarah mahluk Tuhan di muka bumi. Dalam literatur kitab-kitab tafsir telah banyak dijelaskan bahwa Banu al-Jan (bangsa jin dan keturunannya) sebagai aktor Tuhan pertama untuk mengurus bumi telah gagal melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Mereka bertengkar dan saling membunuh antara satu dengan yang lain. Tidak hanya itu, mereka bahkan merusak bumi dengan segala kandungannya. Situasi tersebut menjadi sebab mengapa Tuhan kemudian mengutus para malaikat dan iblis yang berada di surga untuk turun ke bumi demi menangani perilaku negatif Banu al-Jan. Dengan izin Tuhan, mereka berhasil menguasai bumi serta menggiring Banu al-Jan ke tengah samudera dan lereng-lereng pegunungan. Sejak saat itu, Tuhan memberikan kekuasaan sementara kepada para malaikat dan iblis untuk menjaga bumi dengan dispensasi kelonggaran dalam beribadah. Berbeda dengan sikap malaikat yang menerima kelonggaran tersebut sebagai sebuah anugerah, sebaliknya iblis, ditengah-tengah kesibukannya menjaga bumi, ia tetap melaksanakan ibadah kepada Tuhan. Baik ketika ia di bumi, langit, dan di dalam surga sekalipun. Sikap seperti ini kemudian menjadikan iblis sebagai mahluk sombong. Karena menganggap dirinya sebagai mahluk paling mulia diantara mahluk Tuhan lainnya. Pada konteks inilah kemudian Tuhan berkenan menjadikan manusia sebagai khalifah yang akan mengambil alih peran sementara malaikat dan iblis di muka bumi. Qudrah dan iradah Tuhan inipun kemudian ditaati oleh para malaikat tetapi tidak sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh iblis.*1)
Surat al-Baqarah ayat 30-39 di atas adalah cerminan simbolik mengenai keunggulan manusia atas malaikat dan iblis. Dalam ayat-ayat tersebut, setidaknya ada beberapa pesan moral yang ingin disampaikan Tuhan tentang hakekat dan tujuan dari penciptaan umat manusia sebagai khalifah di muka bumi. PERTAMA, kesombongan adalah milik Tuhan. Karena itu tidak sepantasnya jika seorang mahluk ciptaan Tuhan memiliki sifat sombong.*2)  Dialog antara Tuhan dengan malaikat-malaikat-Nya sebagaimana tersurat dalam ayat-ayat tersebut adalah gambaran dari suatu cerita bahwa kesombongan iblis yang tidak mau mematuhi perintah Tuhan untuk sujud (menghormati) Adam karena menganggap dirinya sebagai mahluk paling mulia justru menyebabkannya menjadi kafir.
Lafazh al-malaikat yang terdapat pada ayat 30, 31 dan 34 adalah bentuk jamak dari lafazh malak *3)  mustaq dari lafazh milk dengan sighat isim maf’ul atau obyek dari lafazh milk dan mengandung arti segala sesuatu yang dimiliki. Dalam hal ini, Tuhan adalah Malik yakni subyek dari lafazh milk yang berarti pemilik segala sesuatu. Tambahan alif dan lam pada lafazh malaikat menjadi al-malaikat berfungsi ta`rif (definitive). Bila sebelum manusia sudah ada mahluk yang disebut Banu al-Jan, maka mereka tidak termasuk dalam pengertian lafazh al-malaikat secara definitif. Dengan pengertian ini, khithab atau lawan bicara Tuhan kepada al-malaikat pada ayat-ayat di atas adalah mereka yang termasuk pada kumpulan (semesta) malaikat. Karena itu pengecualian Tuhan terhadap lafazh iblis dari al-malaikat menunjukkan bahwa iblis pada mulanya juga merupakan bagian dari mahluk Tuhan yang disebut al-malaikat. Kepada al-malaikat yang diantaranya kemudian disebut iblis inilah Tuhan berdialog.*4)
Bila dilihat dari tarkib kalam atau susunan redaksi firman Tuhan dan fakta cerita dimana akhirnya malaikat terbagi dua (ayat 34), yakni komunitas malaikat yang patuh bersujud (al-mustatsna minhu)*5)  dan malaikat yang dikecualikan atau dikeluarkan dari komunitasnya (al-mustatsna) karena enggan bersujud yaitu iblis, maka jawaban malaikat “a-taj’alu fiha man yufsidu fiha wa yasfiqu al-dima” dimana manusia diasumsikan sama seperti Banu al-Jan yang senang merusak dan membunuh serta kalimat “nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka” sebagai sikap loyalitas  ibadah malaikat kepada Tuhan (ayat 30) harus dilihat dari perspektif perpecahan malaikat di atas. Karena ayat-ayat tersebut memiliki korelasi atau munasabah antara satu dengan lainnya yang tentu harus dipahami secara integral.
Sehubungan dengan itu, jawaban malaikat al-mustatsna minhu *6) yakni “subhanaka la ilma lana illa ma ‘alamtana” (ayat 32) ketika ditantang Tuhan untuk melakukan presentasi keilmuan (ayat 31) karena mengasumsikan manusia sama dengan Banu al-Jan adalah murni didasari oleh ketidaktahuannya. Sedangkan bagi malaikat al-mustatsna atau disebut Tuhan dengan iblis, jawaban tersebut sekadar untuk menutupi sikap batinnya yang sombong dan iri terhadap anugerah kekhalifahan manusia. Qarinah atau petunjuk yang membuktikan adanya perbedaan sikap batin jawaban kedua malaikat itu adalah redaksi firman Tuhan “wa a`lamu ma tubdun wa ma kuntum taktumun” (ayat 33) sebagai indikator adanya motif tersembunyi dari dialog yang diucapkan malaikat, dalam hal ini iblis. Dan hal tersebut terbukti dengan sikap lahir sujudnya malaikat al-mustatsna minhu kepada Adam dan sikap lahir malaikat al-mustatsna yang enggan serta besar kepala untuk sujud kepada Adam (ayat 34). Sikap tersebut pada akhirnya membawa iblis ke jurang kekafiran. Bukan karena tidak percaya kepada Tuhan melainkan sikap sombongnya yang membuatnya tertutup (kufur) dari kebenaran dan enggan melaksanakan perintah tuhan.
KEDUA, keutamaan manusia atas malaikat dan iblis terletak pada potensi intelektualnya mengkonsep paradigma pengetahuan.*7)  Sebagaimana terlihat pada ayat 31-33, kecermelangan Adam ketika melakukan presentasi di hadapan malaikat dan iblis mengenai pengetahuan yang diajarkan Tuhan kepadanya, telah memupus ketidaktahuan malaikat dan tuduhan iblis yang menganggap sama manusia dengan Banu al-Jan yakni sebagai mahluk perusak dan suka membunuh. Lafazh “anbi’uni” yang dirangkai dengan “in kuntum shadiqin” jelas menunjukkan hal tersebut. Dalam hal ini, “anbi’uni” adalah kalam insya dengan sighat fi`il amer yang berfaedah taubikh *8) dan tabkit,*9)  yakni Tuhan menganggap remeh serta sekaligus mengalahkan ketidaktahuan malaikat dan kesombongan iblis dengan argumentasi keilmuan yang telah disampaikan oleh mahluk-Nya Adam secara valid. Sedangkan lafazh Tuhan “in kuntum shadiqin” kepada malaikat dan iblis menunjukkan bahwa kajian terhadap sesuatu, dalam hal ini sejarah kehidupan Banu al-Jan dengan budaya merusak dan saling membunuh, yang dilakukan tanpa analisis keilmuan adalah tidak valid. Bahkan dapat menutup (kufur) rasionalitas jalan pikiran terhadap kebenaran sebagaimana yang dialami oleh iblis.
KETIGA, menuntut ilmu untuk menjalankan perintah Tuhan lebih utama dari pada ibadah tanpa dasar pengetahuan.*10)  Dari sejak Adam diciptakan, manusia selalu identik dengan pengetahuan yang dianugerahkan untuk menjadi bekal umat manusia dalam kapasitasnya sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi.*11)  Karena itu kebodohan adalah suatu hal yang dapat mereduksi hakekat kemanusiaan dan sekaligus menafikan peran kekhalifahan manusianya. Dengan pengetahuan, manusia diperintahkan untuk menjalankan hukum-hukum Tuhan yang secara simbolis bertujuan untuk mencegah perbuatan  “yufsidu wa yasfiqu al-dima” di muka bumi. Cara terbaik melaksanakan perintah tersebut adalah dengan memahami maksud dan tujuan disyari`atkan hukum-hukum Tuhan. Oleh sebab itu misalnya, memahami perintah zakat secara sosiologis sebagai dana kemanusiaan untuk menolong dan memberdayakan orang yang tidak mampu adalah tepat dari pada menganggap zakat sebagai ibadah yang wajib dilakukan semata-mata karena ada perintah dari Tuhan. lebih dari itu, syari`at zakat adalah isyu universal mengenai penanganan problem kemanusiaan dan mesti dilakukan tanpa ada sekat keagamaan yang justru dapat membatasi peran dan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Ilustrasinya, Tuhan akan tetap menjadi Tuhan sekalipun seluruh mahluk-Nya enggan mengeluarkan zakat.*12)  Tetapi orang yang tak berdaya bisa menjadi sekarat atau sebaliknya nekat berbuat “yufsidu wa yasfiqu al-dima” tanpa bantuan dana kemanusiaan seperti zakat.
KEEMPAT, nafsu *13) adalah kecenderungan negatif sikap emosional yang harus kita tundukan dengan pengetahuan. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan “sesuatu” untuk memacu semangat dan kreatifitasnya. Keinginan untuk hidup sukses dan bahagia atau keinginan untuk bisa menolong orang lain adalah beberapa contoh positif sikap emosional yang mampu memompa semangat hidup seseorang, baik dalam bekerja maupun dalam mencari ilmu. Tetapi sebaliknya, ada pula yang menjadikan kekayaan dan kekuasaan dengan kebebasan sikap emosional sebagai motor penggerak semangat hidupnya.
Nafsu adalah keinginan untuk menentuan pilihan hidup secara bebas berdasarkan keinginan diri atau kelompok sendiri. Hanya saja manusia harus juga sadar terhadap sifat destruktif yang inheren pada kebebasan.*14)  Sebab tolok ukur kebabasan dalam memenuhi kepentingan diri atau kelompok sendiri yang tidak mengindahkan peraturan bagi kepentingan universal orang banyak dapat menutup (kufur) hati manusia dari kebenaran. Sebagaimana dahulu pernah terjadi pada Adam dan Hawa ketika diberi kebebasan untuk makan sesukanya di dalam surga. Karena bujuk rayu syaithan yang menjanjikan kekuasaan dan kekekalan atas kenikmatan surga (Q.S. 7: 20), Adam dan isterinya terlena sehingga memilih satu dari sekian banyak pilihan bebasnya yang justru tidak diperkenankan menurut aturan Tuhan. Jadilah Adam dan isterinya termasuk golongan orang-orang dzalim, yakni orang yang nafsunya terpedaya oleh syaitan.*15)
Oleh sebab itu, Rasulullah pernah berpesan kepada para sahabatnya bahwa jihad yang paling besar adalah memerangi nafsu. Karena selain berarti melawan keinginan dan kepentingan diri atau kelompok sendiri, pada hakekatnya manusia juga melawan tipu daya syaithan (Q.S. 47: 25) yang hanya menilai Adam dari segi fisiknya (tanah) bukan pada kemampuan intelektualnya (Q.S. 7: 12). Kesombongan jasmaniyah bahwa api sebagai materi penciptaan syaithan lebih baik dari Adam yang diciptakan dari tanah, membuatnya enggan bersujud (hormat) dan akhirnya terusir dari surga sebagai mahluk hina (Q.S. 7: 12-13). Karena itulah, dendam dan ancaman syaithan terhadap Adam beserta keturunannya adalah hal yang harus diwaspadai oleh umat manusia (Q.S. 7: 16-17). Menurut Ahmad Amin, kemampuan orang mengontrol hawa nafsu dengan memberikan kemenangan kepada akal untuk berfikir, bagaikan panglima yang berkuasa penuh atas semua prajuritnya. Sedangkan ketidakmampuan orang mengontrol nafsu, diibaratkannya seperti kapal tak punya tujuan.*16)  Tidak hanya terombang-ambing, tetapi juga sangat berpotensi tenggelam dalam kehidupan.

------------------------------------

  *1) Muhammad Nawawi al-Banteni, Tafsir Munir: Murah Labib li-Kasfi Mana Qur'an Majid,  (tk: Daar al-Fikr, tt), hal. 9.
  *2) Berkenaan dengan masalah kesombongan yang tidak patut disandang oleh manusia, Rasulullah dalam sebuah hadits bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan” demikian juga pada hadits qudsi ditemukan “Bahwa Allah SWT berkata: “Keagungan adalah sarung-Ku dan kesombangan adalah pakaian-Ku. Oleh sebab itu barang siapa merebutnya dari Ku, maka Aku akan menyiksanya”. Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Muslim.
  *3) Louis Ma`luf, Al-Munjîd fî al-Lughah wa al-Kalâm, (Beirut: Daar al-Masyreq, 1986), hal. 775
  *4) Kesimpulan ini penulis peroleh berdasarkan pendapat Fahruddin ar-Razi (544 H-605 H) seorang ulama tafsir yang menulis kitab Mafatih al-Ghaib (al-Tafsir al-Kabir) dan jumhur ulama yang berpendapat bahwa malaikat adalah mahluk Tuhan yang selalu taat terhadap perintah-perintah-Nya dan selalu terjaga dari perbuatan dosa. Pada awalnya, iblis adalah malaikat. Ketidak-patuhannya kepada Tuhan yang menyebabkan ia masuk ke dalam golongan orang-orang yang kafir. Pendapat Fahruddin ar-Razy ini penulis nukil dari Husain Affandi: Al-Husun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah 'ala al-Aqaid al-Islamiyah, (Surabaya: al-Maktabah al-Hidayah, tt), hal. 119-123. Dalam kamus, akar kata iblis diambil dari kata “ablasa” yang berarti putus asa, bersedih hati atau jahat. Arti secara tersirat memperkuat pengertian bahwa iblis pada awalnya merupakan malaikat. Yakni malaikat yang putus asa karena klaim ibadahnya kepada Tuhan (nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka) terutama paska sukses penugasannya mereformasi Banu al-Jan di muka bumi serta penciptaan fisiknya yang berasal dari api (khalaqtani min nar) tidak menjadi kredit poin baginya untuk memperoleh promosi sebagai khalifah. Tetapi justru promosi tersebut diberikan kepada Banu Adam yang menurut asumsinya sama dengan Banu al-Jan (yufsidu fiha wa yasfiqu al-dima) dan bahkan hanya tercipta dari tanah (khalaqtahu min thin). Sikap berputus asa dari rahmat Tuhan karena tidak diangkat menjadi khalifah kemudian menyebabkannya bersedih hati sehingga enggan atau durhaka dari perintah-Nya (fa fasaqa ‘an amri Rabih). Kedua sikap tersebut akhirnya merubah sikap malaikat menjadi jahat dengan memusuhi Adam dan keturunannya yang dianggap telah merebut tahta kekhalifahan. Yakni dengan cara menggangu dan menggoda Adam beserta keturunannya agar tersesat dari jalan Tuhan. Putus asa dan bersedih hati dengan tidak menjalankan perintah Tuhan bahkan berkeinginan jahat kepada manusia membuatnya mendapatkan sebutan iblis. Bukan hanya itu saja, pada akhirnya ia juga disebut dengan syaithan yang secara bahasa berarti jauh dari kebaikan atau “ruhun syirrirun”. Yakni ruh paling jahat dan merupakan musuh nyata bagi umat manusia yang harus dijauhinya.
  *5) Berkaitan dengan persoalan pengecualian (istitsna) di atas, ada pendapat yang menyatakan bahwa istitsna pada ayat-ayat tentang enggannya iblis sujud kepada Adam adalah istitsna munqathi atau pengecualian terputus. Dalam hal ini, pengecualian terhadap iblis adalah pengecualian terputus yang berarti keberadaan iblis tidak sama jenisnya dengan malaikat. Namun dalam tata bahasa Arab, sekalipun istitsna munqathi merupakan pengecualian yang tidak sama jenisnya, tetapi ia harus memiliki persyaratan khusus. Yakni al-mustatsna harus memiliki hubungan dengan al-mustatsna minhu secara adat (logis). Syaikh Musthafa Ghalayini, Jami’u al-Durus al-‘Arabiyah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 1987) cet. 21, hal. 137. Contoh dalam masalah ini adalah “telah datang presiden kecuali menteri”. Pada contoh ini, baik presiden maupun menteri memang berbeda jenis. Tetapi keduanya memiliki hubungan secara adat (logis) yaitu sama-sama pemerintah. Lain halnya dengan contoh: “telah datang presiden kecuali tukang becak” dimana presiden tidak ada hubungan adat (logis) dengan tukang becak. Apabila iblis dan malaikat berlainan jenis, maka pertanyaannya adalah dimana letak hubungan adat (logis) keduanya? Bila jawabannya adalah sama-sama mahluk Tuhan, mengapa khithab ditujukan hanya kepada malaikat yang mempergunakan redaksi tambahan alif dan lam definitive? Dan jika iblis adalah jenis jin, tentunya ia tidak ada di surga. Sebab bukankah jin berada di bumi yang karena gagal kemudian digantikan oleh Tuhan dengan menjadikan manusia sebagai khalifah (pengganti) mereka? Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini, penulis cenderung mengikuti pendapat sahabat seperti Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa iblis adalah malaikat durhaka.
  *6) Istilah tersebut penulis gunakan sekadar untuk memudahkan pengertian dalam membedakan malaikat yang disimpulkan dari Q.s. 2: 34 dan Q.S. 18: 50 berkaitan dengan takhshis bi al-istitsna lafazh malaikat sebagai lafazh yang masih menunjukkan makna umum, yakni seluruh mahluk yang dimiliki-Nya. Menurut sebagian ulama, iblis termasuk dari bangsa jin yang juga disimpulkan berdasarkan firman Tuhan pada Q.S. 18: 50. Sekalipun demikian menurut penulis, lafazh jin pada ayat tersebut lebih bermakna harfiyah dari pada alamiyah (nama bagi suatu obyek). Dalam pengertian ini, lafazh jin berarti tersembunyi yang berasal dari lafazh janna. Hal ini berarti bahwa iblis adalah mahluk yang tersembunyi atau tidak bisa dilihat manusia. Qarinah atau petunjuknya adalah munasabah ayat Q.S. 18: 50 dengan Q.S. 7: 27 yang secara eksplisit menyatakan bahwa iblis dan kemudian disebut juga dengan syaithan tidak dapat dilihat manusia. Syaid bin Jubair ketika mengomentari ayat 18: 50 mengartikan lafazh “kana min al-jin” sebagai malaikat yang bekerja di surga atau malaikat penjaga surga (jannah). Menurut Ibnu Abbas, karena durhaka atau tidak mentaati perintah Tuhan malaikat tersebut kemudian menjadi syaithan. Lihat DR. Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-syari`ah wa al-Manhaj, (Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991), juz I, cet. I, hal. 134-135. Kesimpulannya, iblis bukanlah sebangsa jin melainkan malaikat yang dikecualikan atau dikeluarkan (malaikat mustatsna) karena tidak mau mematuhi perintah Tuhan. Adapun dalil lain yang memperkuat pernyataan ini adalah: 1). Konteks ayat yang bercerita tentang perintah sujud jelas ditujukan kepada malaikat (li al-malaikat). Menurut al-Bughawi pendapat ini paling valid (al-ashah). DR. Wahbah Zuhaili, Ibid. Sehingga respon terhadap perintah tersebut tidak lain adalah respon malaikat. 2). Adanya dualisme respon malaikat terhadap perintah Tuhan “usjudu”. Malaikat mustatsna minhu merespon perintah tersebut secara positif “fa-sajadu”. Namun sebaliknya, malaikat mustatsna atau iblis meresponnya dengan negatif “fa-fasaqa ‘an amri Rabbihi” yang berarti “lalu ia (malaikat) mendurhakai perintah Tuhannya”. Jikalau pada awalnya iblis adalah iblis dan bukan bagian dari malaikat yang berarti sudah durhaka maka tidak mungkin muncul kalimat “fa-fasaqa ‘an amri Rabbihi”. Disamping itu, mustahil bagi Tuhan yang memerintahkan mahluk-Nya untuk berbuat adil tetapi tidak berbuat adil. Yakni menciptakan iblis “langsung” sebagai pendurhaka. 3). Tujuan penciptaan jin adalah sama seperti manusia yaitu beribadah kepada Tuhan (Q.S. 51: 56). Sedangkan malaikat diciptakan hanya untuk mentaati perintah Tuhan (Q.S. 66: 6). Karena itu iblis (sebutan setelah perbuatan durhaka) pada mulanya termasuk bagian dari malaikat. Tetapi kemudian dikeluarkan dari komunitas malaikat akibat perbuatannya yang tidak mentaati perintah Tuhan (Q.S. 7: 11-12).
  *7) M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet. II, hal. 282-283.
  *8) Muhamad Nawawi al-Banteni, Op. Cit., hal. 9
  *9) Jalaludin Muhamad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Muzayyalan bi kitab Lubab al-Nuqul fi asbab al-nuzul li as-Suyuthi, (Beirut: Daar al-Fikr, tt), hal. 8
  *10) Dalam mengomentari QS. 35: 28, imam al-Ghazali berpendapat bahwa sulit bagi orang yang tidak berilmu untuk dapat mengenal Allah, dan karena itu pula mustahil ia dapat mencintai dan mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya. Imam al-Ghazali, Minhaj al-`Abidin ila Jannah Rabb al-`alamin, (Indonesia: Daar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt), hal. 7. Pendapat yang juga cukup menarik ditampilkan di sini adalah pendapat Ahmad Wahib dalam catatan hariannya yang kemudian disunting oleh Djohan Effendi, sahabatnya yang sama-sama keluar dari HMI, menjadi sebuah buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam bahwa orang yang percaya kepada Tuhan dengan tanpa keraguan sedikitpun, sebenarnya dia tidak percaya kepada Tuhan melainkan percaya hanya pada berita tentang adanya Tuhan.
  *11) Musim paceklik atau sawah yang kering dapat disebut sebagai bencana atau dapat juga disebut sebagai kesalahan tehnis. Bagi orang awam hal itu adalah bencana yang diturunkan Tuhan dan karenanya mereka harus lebih rajin berdoa agar Tuhan segera menurunkan hujan. Sedangkan di mata orang yang berpengetahuan, hal itu bisa jadi karena sistem irigasi yang tidak baik sehingga diperlukan perencanaan dan perhitungan yang lebih cermat. Orang awam bergantung pada Tuhan, sedangkan orang yang berpengetahuan bergantung pada ilmu yang diberikan Tuhan. Kepada golongan terakhir inilah Tuhan mempercayakan dan menganugerahkan gelar kekhalifan-Nya. Untuk informasi  lain yang juga relevan, silahkan lihat : Murthada Muthahari, Kritik Islam terhadap Faham Materialisme, (Jakarta: Risalah Masa, 1992), hal. 45-53.
  *12) QS. 22: 37. Lafazh at-taqwa dalam ayat ini berasal dari lafazh wiqayah mengikuti wazan iftaala menjadi ittaqa yang berarti takut kepada Allah dengan cara mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
  *13) Nafsu berasal dari kata nafs yang berarti diri sendiri. Nafsu adalah kutub yang berseberangan secara diametral dengan kutub pengetahuan. Keduanya berada dalam satu kesatuan ikatan akal. Tepat diantara keduanya, Tuhan menempatkan Qalbu. Sesuatu yang kadang berpihak pada kejahatan dan kadang berpihak pada kebenaran, tergantung siapa diantara nafsu dan pengetahuan yang paling kuat mempengaruhinya. Dan jihad an-nafs yang dimaksud oleh Rasulullah setelah pulang perang badar adalah menenangkan nafsu (QS. 89: 27-30) atau dengan membuat qalbu menjadi hati nurani yang selalu mendapat petunjuk dari Tuhan (QS. 64: 11), bukan membiarkanya menjadi asyaddu qhaswah atau lebih keras dari batu karena tidak mau digunakan untuk memahami kebesaran Tuhan (QS. 2: 74). Lihat juga penjelasan penulis pada pembahasan jasmani dan ruhani manusia dalam bab II.
  *14) QS. 12: 53. Oleh sebab itu kita diminta untuk senantiasa berusaha menahan nafsu dan menjadikannya sebagai nafsu al-muthmainnah (QS. 79: 40-41).
  *15) Dalam surat al-Baqarah 30-39 maupun surat al-Araaf ayat 10-30 yang bercerita tentang promosi Adam sebagai khalifah di muka bumi, keberadaan iblis digambarkan sebagai sosok mahluk yang tidak mau sujud kepada Adam. Namun pada ayat-ayat selanjutnya, terminologi iblis diganti Tuhan dengan sebutan syaithan. Untuk itu perlu penulis jelaskan di sini bahwa iblis disebut dengan syaithan karena jauhnya dari kebaikan dan kebenaran. Sementara syaithan sendiri berarti “ruhun syirriirun” atau ruh yang banyak berbuat kejahatan. Iblis juga memiliki alam laqab atau julukan yaitu “syirrirun” karena seringnya berbuat kejahatan. Lihat Louis Ma`luf, Op.cit, hal. 380 dan 388. Bandingkan pula sebutan iblis sebagai “ruhun syirrirun” di atas dengan malaikat Jibril yang disebut dengan “ruhun aminun” atau “ruh al-qudus”.
  *16) Prof. Dr. Ahmad Amin, Etika /Ilmu Akhlaq, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 237

Inisiasi 1: Tuhan dan Ketuhanan Yang Maha Esa

Iman merupakan asas yang menentukan ragam kepribadian manusia. Selama ini orang memahami bahwa iman artinya kepercayaan atau sikap batin, yaitu mempercayai adanya Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir (kiamat), Takdir baik dan buruk. Pengertian tersebut jika digandengkan dengan hadis Nabi yaitu aqdun bil qalbi wa ikraarun bil lisaani wa amalun bil arkani maka pengertiannya akan lebih operasional. Jika didefinisikan bahwa iman adalah kepribadian yang mencerminkan suatu keterpaduan antara kalbu, ucapan dan perilaku menurut ketentuan Allah, yang disampaikan oleh Malaikat kepada Nabi Muhammad. Ketentuan Allah tersebut dibukukan dalam bentuk Kitab yaitu kumpulan wahyu, yang dikonkretkan dalam Al-quran guna mencapai tujuan yang hakiki yaitu bahagia dalam hidup, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Isi kitab tersebut adalah ketentuan tentang nilai-nilai kehidupan yang baik dan yang buruk berdasarkan parameter dari Allah.
Ada tiga aspek iman yaitu pengetahuan, kemauan dan kemampuan. Orang yang beriman kepada Allah adalah yang memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk hidup dengan ajaran Al-quran seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Oleh karena itu, prasyarat untuk mencapai iman adalah memahami kandungan Al-quran. Dengan demikian strategi untuk menumbuhkembangkan keimanan kepada Allah adalah menumbuhkembangkan kegiatan, belajar dan mengajar Al-quran secara akademik. Tujuan belajar dan mengajar adalah bukan sekedar mampu membunyikan hurufnya, melainkan sampai memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Kuat lemahnya iman seseorang sangat tergantung pada penguasaannya terhadap Al-quran. Kekeliruan dan kedangkalan dalam memahami makna Al-quran merupakan faktor yang membuat dangkal atau keliru dalam beriman. Untuk itu belajar dan mengajar Al-quran harus dilakukan secara terjadwal dan berkelanjutan. Belajar Al-quran tidak hanya di waktu kecil, namun harus berkelanjutan sampai ajal tiba.
Konsep tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut pemikiran manusia, berbeda dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa menurut ajaran Islam. Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia baik deisme, panteisme, maupun eklektisme, tidak memberikan tempat bagi ajaran Allah dalam kehidupan, dalam arti ajaran Allah tidak fungsional. Paham panteisme meyakini Tuhan berperan, namun yang berperan adalah Zat-Nya, bukan ajaran-Nya. Sedangkan konsep ketuhanan dalam Islam justru intinya adalah konsep ketuhanan secara fungsional. Maksudnya, fokus dari konsep ketuhanan dalam Islam adalah bagaimana memerankan ajaran Allah dalam memanfaatkan ciptaan-Nya.
Segala yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Yang Maha Pencipta (Khalik). Manusia yang diberi akal, ketika memperhatikan gejala dan fenomena alam akan mengambil kesimpulan bahwa alam yang menakjubkan ini tentulah diciptakan oleh Yang Maha Agung. Akal yang logis juga memahami bahwa yang dicipta tidak sama dengan Pencipta.
Makhluk, kecuali ada yang nyata dapat  diketahui  dengan pancaindra, ada pula yang immateri dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Keyakinan akan adanya makhluk ghaib itu, akan dapat menyampaikan kepada keimanan, juga terhadap Yang  Maha Ghaib, yaitu Khalik Pencipta alam semesta ini.