Sabtu, 01 November 2014

Inisiasi III : Masyarakat Beradab, Peran Umat Beragama,HAM dan Demokrasi.

Masyarakat adalah sejumlah individu yang hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu,bergaul dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan kesadaran pada diri setiap anggotanya sebagai suatu kesatuan. Asal usul pembentukan masyarakat bermula dari fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain. Dari fitrah ini kemudian mereka berinteraksi satu sama lain dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan hubungan sosial yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran akan kesatuan. Untuk menjaga ketertiban daripada hubungan sosial itu, maka dibuatlah sebuah peraturan.
Dalam perkembangan berikutnya,seiring dengan berjumlahnya individu yang menjadi anggota tersebut dan perkembangan kebudayaan, masyarakat berkembang menjadi sesuatu yang kompleks. Maka muncullah lembaga sosial, kelompok sosial, kaidah-kaidah sosial sebagai struktur masyarakat dan proses sosial dan perubahan sosial sebagai dinamika masyarakat. Atas dasar itu, para ahli sosiologi menjelaskan masyarakat dari dua sudut: struktur dan dinamika.
Masyarakat beradab dan sejahtera dapat dikonseptualisasikan sebagai civil society atau masyarakat madani. Meskipun memeliki makna dan sejarah sendiri, tetapi keduanya, civil society dan masyarakat madani merujuk pada semangat yang sama sebagai sebuah masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, sejahtera, dengan kesadaran ketuhanan yang tinggi yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial.
Prinsip masyarakat beradab dan sejahtera (masyarakat madani) adalah keadilan sosial, egalitarianisme, pluralisme, supremasi hukum, dan pengawasan sosial. Keadilan sosial adalah tindakan adil terhadap setiap orang dan membebaskan segala penindasan. Egalitarianisme adalah kesamaan tanpa diskriminasi baik etnis, agama, suku, dll. Pluralisme adalah sikap menghormati kemajemukan dengan menerimanya secara tulus sebagai sebuah anugerah dan kebajikan. Supremasi hukum adalah menempatkan hukum di atas segalanya dan menetapkannya tanpa memandang “atas” dan “bawah”.
Sejak terminologi bangsa dan negara dipahami secara negatif menjadi batas kultural dan teritorial bagi hubungan antar umat manusia di belahan dunia ini, praktis eksistensi sejarah peradaban manusia hanya bermain pada wilayah kepentingan kedua batasan tersebut. Kalau tidak atas nama bangsa tertentu, maka kepentingan negara tertentu menjadi dasar pertimbangan seorang manusia dalam menentukan sikap hidupnya. Sejarah telah mencatat, betapa bangsa  Jerman dengan mengatasnamakan “Blut und Boden” darah dan tanah air, yakni ras bangsa Aria dan negara Jerman mencoba mengkebiri hak orang-orang Yahudi dengan cara membantai mereka. Bahkan sampai dengan saat ini, kita masih dapat menyaksikan bagaimana bangsa Yahudi (Israel) dan bangsa Arab (Palestina) terus menerus berperang demi membela kepentingan bangsa dan negara mereka masing-masing.
Menurut ajaran Islam, keaneka-ragaman bangsa dan negara adalah sunannatullah. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Islam melegitimasi adanya pengotakan manusia berdasarkan batas-batas wilayah teritorial dan kultural secara negatif, untuk kemudian menjelma menjadi sebuah primodialisme kebangsaan dan kenegaraan tanpa memperdulikan bangsa dan negara lain. Semangat yang ingin disampaikan dalam perbedaan tersebut tiada lain dimaksudkan agar manusia dapat terpacu untuk bersaing secara positif dalam berbuat kebajikan. Dalam surat al-Ma’idah ayat 48 Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan sebagai satu umat. Tetapi Allah hendak menguji terhadap apa yang telah Ia berikan kepadamu. Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan.”

Oleh karena itu, manusia yang berkulit hitam atau putih, miskin-kaya, laki atau perempuan adalah sama. Tidak ada jaminan bahwa mereka yang berkulit putih lebih memiliki keunggulan dan hak istimewa dari pada mereka yang berkulit hitam. Kemiskinan tidaklah berarti bahwa ia tidak memiliki hak untuk dapat hidup sebagai seorang manusia. Demikian pula halnya dengan jenis kelamin, laki dan perempuan memiliki peluang dan kesempatan yang sama dalam hidupnya. Tidak ada diskriminasi ras, suku bangsa, negara ataupun gender. Manusia adalah manusia, satu-satunya yang membuat mereka beda adalah karena usaha dan kerja kerasnya dalam berbuat kebajikan guna mencapai derajat ketaqwaan. Yakni mematuhi segala perintah Tuhan, baik yang menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-nya maupun horisontal antara manusia dengan sesama manusia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural di mana bangsa ini terdiri dari pelbagai macam suku, bahasa, etnis, agama, dll. meskipun plural, bangsa ini terikat oleh kesatuan kebangsaan akibat pengalaman yang sama: penjajahan yang pahit dan getir. Kesatuan kebangsaan itu dideklarasikan melalui Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan ikrar: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Kesatuan kebangsaan momentum historisnya ada pada Pancasila ketika ia dijadikan sebagai falsafah dan ideologi negara. Jika dibandingkan, ia sama kedudukannya dengan Piagam Madinah. Keduanya, Pancasila dan Piagam Madinah merupakan platform bersama semua kelompok yang ada untuk mewujudkan cita-cita bersama, yakni masyarakat madani.
Salah satu pluralitas bangsa Indonesia adalah agama. Karena itu peran umat beragama dalam mewujudkan masyarakat madani sangat penting. Peran itu dapat dilakukan, antara lain, melalui dialog untuk mengikis kecurigaan dan menumbuhkan saling pengertian, melakukan studi-studi agama, menumbuhkan kesadaran pluralisme, dan menumbuhkan kesadaran untuk bersama-sama mewujudkan masyarakat madani. Dalam surat al-Hujarat 13 Allah telah berfirman:
Artinya:
“Wahai manusia, telah Aku jadikan kamu dari laki-laki dan perempuan. Dan Aku jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu menurut Tuhan adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu sekalian.

Lafadz li-ta’arafu (agar saling kenal mengenal) pada ayat di atas adalah alasan atau ta’lil dari kekuasaan Tuhan yang menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa (Syu’uban wa qabaila) untuk saling mengenal. Lam ta’lil yang ada pada lafadz li-ta’arafu tersebut bukan penjelasan bagi hubungan antara laki-laki dan perempuan (zakar wa-untsa) Urgensi kalimat zakar wa untsa lebih menunjuk pada makna keadilan bahwa setiap manusia berkedudukan sama di depan hukum karena dilahirkan dari Adam dan Hawa atau kaum bapak dan kaum ibu.*1)  Lebih jauh lagi dapat penulis katakan bahwa sighat ta’arafa yang mengikuti pola wazan tafa’ala dengan makna muthawa’ah bain al-itsnain fa-aktsar atau saling berbuat antara dua orang atau lebih ini memiliki kata dasar atau fi’il tsulasi mujarrad yang sama dengan lafadz ma’ruf yang berarti kebaikan. Kesimpulannya, pola saling kenal mengenal harus bermakna positif atau mengandung nilai kebaikan bagi kehidupan sosial umat manusia.

Pada awal abad 21 di mana jargon hak asasi manusia dalam setiap aspek kehidupan gencar dikampanyekan, ternyata masih saja ditemukan orang-orang terlantar yang kelaparan. Sementara di belahan dunia yang kaya, mereka menghamburkan ratusan juta dolar untuk sekedar membuat tontonan sebuah film kekerasan dengan bumbu seks yang seringkali menjadi sumber inspirasi bagi manusia dalam melakukan tindak kriminal. Tak salah bila ada asumsi yang meremehkan bahwa era globalisasi hanya mampu mengubah gaya hidup seseorang tetapi tidak untuk tujuan hidup orang itu sendiri.*2)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah wewenang manusia yang bersifat dasar sebagai manusia untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu baik yang bersifat materi maupun immateri. Secara historis, pandangan terhadap kemanusiaan di Barat bermula dari para pemikir Yunani Kuno yang menggagas humanisme. Pandangan humanisme, kemudian dipertegas kembali pada zaman Renaissance. Dari situ kemudian muncul pelbagai kesepakatan nasional maupun internasional mengenai penghormatan hak-hak asasi manusia. Puncaknya adalah ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Declaration of Human Right, disusul oleh ketentuan-ketentuan lain untuk melengkapi naskah tersebut.


Sama halnya dengan hak asasi manusia, demokrasi yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, secara historis telah ada sejak zaman Yunani Kuno sebagai respons terhadap pemerintahan otoriter yang tidak menutup partisipasi rakyat dalam setiap keputusan-keputusan publik. Melalui sejarah yang panjang, sekarang demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik yang harus dianut oleh semua negara untuk kebaikan rakyat yang direalisasikan melalui hak asasi manusia. Hak asasi manusia hanya bisa diwujudkan dalam suatu sistem yang demokrasi di mana semua warga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Meskipun tidak secara formal dalam bentuk lembaga, perintah untuk melakukan musyawarah telah menjadi suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan dalam ajaran Islam, agar nasib orang banyak tidak dipermainkan oleh suatu keputusan otoriter seseorang yang biasanya cenderung mengabaikan rasa keadilan sosial. Dalam surat as-Syura ayat 38 Allah SWT. telah berfirman:
Artinya:
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka”.
Dalam surat lain yang ditujukan kepada Rasul-Nya dan untuk menjadi teladan bagi umat Islam, yakni Alu Imran ayat 159 Allah SWT. juga berfirman:
Artinya:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…”.
Banyak teladan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah kepada umatnya dalam mengambil keputusan dengan cara musyawarah, meskipun secara pribadi keputusan tersebut bertentangan dengan pendapat Rasul. Diantaranya yang cukup penting untuk dikemukakan di sini adalah keputusan pada saat terjadinya perang Uhud. Saat itu terdapat dua pilihan, apakah kaum muslimin akan menggunakan taktik menyerang, keluar dari kota Madinah menyongsong musuh (offensif) atau bertahan di kota Madinah (defensif). Dalam hal ini, Rasulullah dan beberapa orang sahabat memilih alternatif kedua, yakni tetap tinggal di Madinah. Sedangkan pendapat mayoritas cenderung memilih alternatif pertama, keluar dari Madinah untuk menyongsong kedatangan musuh. Akhirnya, Rasulullah beserta para sahabat melaksanakan keputusan berdasarkan suara terbanyak tersebut.*3)

------------------------------------------------
  Syaikh Nawawi al-Bantani, Murah Labib Tafsir an-Nawawi, (tk: Daar al-Fikr, 1981), juz II, hal. 316.
2 Bondan Winarno, Tongkrongan Global, Paradigma Lokal, Kompas, 28 Juni 2000, hal. 67.
3 Muhammad Rasyid Ridla, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, hal. 463.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar