Sabtu, 01 November 2014

Inisiasi II : KONSEP KEKHALIFAHAN MANUSIA

KONSEP KEKHALIFAHAN MANUSIA
(Muhamad Nurdin)

Sejarah eksistensi manusia dalam kandungan cerita al-Qur’an adalah episode kedua dari lanjutan sejarah mahluk Tuhan di muka bumi. Dalam literatur kitab-kitab tafsir telah banyak dijelaskan bahwa Banu al-Jan (bangsa jin dan keturunannya) sebagai aktor Tuhan pertama untuk mengurus bumi telah gagal melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Mereka bertengkar dan saling membunuh antara satu dengan yang lain. Tidak hanya itu, mereka bahkan merusak bumi dengan segala kandungannya. Situasi tersebut menjadi sebab mengapa Tuhan kemudian mengutus para malaikat dan iblis yang berada di surga untuk turun ke bumi demi menangani perilaku negatif Banu al-Jan. Dengan izin Tuhan, mereka berhasil menguasai bumi serta menggiring Banu al-Jan ke tengah samudera dan lereng-lereng pegunungan. Sejak saat itu, Tuhan memberikan kekuasaan sementara kepada para malaikat dan iblis untuk menjaga bumi dengan dispensasi kelonggaran dalam beribadah. Berbeda dengan sikap malaikat yang menerima kelonggaran tersebut sebagai sebuah anugerah, sebaliknya iblis, ditengah-tengah kesibukannya menjaga bumi, ia tetap melaksanakan ibadah kepada Tuhan. Baik ketika ia di bumi, langit, dan di dalam surga sekalipun. Sikap seperti ini kemudian menjadikan iblis sebagai mahluk sombong. Karena menganggap dirinya sebagai mahluk paling mulia diantara mahluk Tuhan lainnya. Pada konteks inilah kemudian Tuhan berkenan menjadikan manusia sebagai khalifah yang akan mengambil alih peran sementara malaikat dan iblis di muka bumi. Qudrah dan iradah Tuhan inipun kemudian ditaati oleh para malaikat tetapi tidak sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh iblis.*1)
Surat al-Baqarah ayat 30-39 di atas adalah cerminan simbolik mengenai keunggulan manusia atas malaikat dan iblis. Dalam ayat-ayat tersebut, setidaknya ada beberapa pesan moral yang ingin disampaikan Tuhan tentang hakekat dan tujuan dari penciptaan umat manusia sebagai khalifah di muka bumi. PERTAMA, kesombongan adalah milik Tuhan. Karena itu tidak sepantasnya jika seorang mahluk ciptaan Tuhan memiliki sifat sombong.*2)  Dialog antara Tuhan dengan malaikat-malaikat-Nya sebagaimana tersurat dalam ayat-ayat tersebut adalah gambaran dari suatu cerita bahwa kesombongan iblis yang tidak mau mematuhi perintah Tuhan untuk sujud (menghormati) Adam karena menganggap dirinya sebagai mahluk paling mulia justru menyebabkannya menjadi kafir.
Lafazh al-malaikat yang terdapat pada ayat 30, 31 dan 34 adalah bentuk jamak dari lafazh malak *3)  mustaq dari lafazh milk dengan sighat isim maf’ul atau obyek dari lafazh milk dan mengandung arti segala sesuatu yang dimiliki. Dalam hal ini, Tuhan adalah Malik yakni subyek dari lafazh milk yang berarti pemilik segala sesuatu. Tambahan alif dan lam pada lafazh malaikat menjadi al-malaikat berfungsi ta`rif (definitive). Bila sebelum manusia sudah ada mahluk yang disebut Banu al-Jan, maka mereka tidak termasuk dalam pengertian lafazh al-malaikat secara definitif. Dengan pengertian ini, khithab atau lawan bicara Tuhan kepada al-malaikat pada ayat-ayat di atas adalah mereka yang termasuk pada kumpulan (semesta) malaikat. Karena itu pengecualian Tuhan terhadap lafazh iblis dari al-malaikat menunjukkan bahwa iblis pada mulanya juga merupakan bagian dari mahluk Tuhan yang disebut al-malaikat. Kepada al-malaikat yang diantaranya kemudian disebut iblis inilah Tuhan berdialog.*4)
Bila dilihat dari tarkib kalam atau susunan redaksi firman Tuhan dan fakta cerita dimana akhirnya malaikat terbagi dua (ayat 34), yakni komunitas malaikat yang patuh bersujud (al-mustatsna minhu)*5)  dan malaikat yang dikecualikan atau dikeluarkan dari komunitasnya (al-mustatsna) karena enggan bersujud yaitu iblis, maka jawaban malaikat “a-taj’alu fiha man yufsidu fiha wa yasfiqu al-dima” dimana manusia diasumsikan sama seperti Banu al-Jan yang senang merusak dan membunuh serta kalimat “nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka” sebagai sikap loyalitas  ibadah malaikat kepada Tuhan (ayat 30) harus dilihat dari perspektif perpecahan malaikat di atas. Karena ayat-ayat tersebut memiliki korelasi atau munasabah antara satu dengan lainnya yang tentu harus dipahami secara integral.
Sehubungan dengan itu, jawaban malaikat al-mustatsna minhu *6) yakni “subhanaka la ilma lana illa ma ‘alamtana” (ayat 32) ketika ditantang Tuhan untuk melakukan presentasi keilmuan (ayat 31) karena mengasumsikan manusia sama dengan Banu al-Jan adalah murni didasari oleh ketidaktahuannya. Sedangkan bagi malaikat al-mustatsna atau disebut Tuhan dengan iblis, jawaban tersebut sekadar untuk menutupi sikap batinnya yang sombong dan iri terhadap anugerah kekhalifahan manusia. Qarinah atau petunjuk yang membuktikan adanya perbedaan sikap batin jawaban kedua malaikat itu adalah redaksi firman Tuhan “wa a`lamu ma tubdun wa ma kuntum taktumun” (ayat 33) sebagai indikator adanya motif tersembunyi dari dialog yang diucapkan malaikat, dalam hal ini iblis. Dan hal tersebut terbukti dengan sikap lahir sujudnya malaikat al-mustatsna minhu kepada Adam dan sikap lahir malaikat al-mustatsna yang enggan serta besar kepala untuk sujud kepada Adam (ayat 34). Sikap tersebut pada akhirnya membawa iblis ke jurang kekafiran. Bukan karena tidak percaya kepada Tuhan melainkan sikap sombongnya yang membuatnya tertutup (kufur) dari kebenaran dan enggan melaksanakan perintah tuhan.
KEDUA, keutamaan manusia atas malaikat dan iblis terletak pada potensi intelektualnya mengkonsep paradigma pengetahuan.*7)  Sebagaimana terlihat pada ayat 31-33, kecermelangan Adam ketika melakukan presentasi di hadapan malaikat dan iblis mengenai pengetahuan yang diajarkan Tuhan kepadanya, telah memupus ketidaktahuan malaikat dan tuduhan iblis yang menganggap sama manusia dengan Banu al-Jan yakni sebagai mahluk perusak dan suka membunuh. Lafazh “anbi’uni” yang dirangkai dengan “in kuntum shadiqin” jelas menunjukkan hal tersebut. Dalam hal ini, “anbi’uni” adalah kalam insya dengan sighat fi`il amer yang berfaedah taubikh *8) dan tabkit,*9)  yakni Tuhan menganggap remeh serta sekaligus mengalahkan ketidaktahuan malaikat dan kesombongan iblis dengan argumentasi keilmuan yang telah disampaikan oleh mahluk-Nya Adam secara valid. Sedangkan lafazh Tuhan “in kuntum shadiqin” kepada malaikat dan iblis menunjukkan bahwa kajian terhadap sesuatu, dalam hal ini sejarah kehidupan Banu al-Jan dengan budaya merusak dan saling membunuh, yang dilakukan tanpa analisis keilmuan adalah tidak valid. Bahkan dapat menutup (kufur) rasionalitas jalan pikiran terhadap kebenaran sebagaimana yang dialami oleh iblis.
KETIGA, menuntut ilmu untuk menjalankan perintah Tuhan lebih utama dari pada ibadah tanpa dasar pengetahuan.*10)  Dari sejak Adam diciptakan, manusia selalu identik dengan pengetahuan yang dianugerahkan untuk menjadi bekal umat manusia dalam kapasitasnya sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi.*11)  Karena itu kebodohan adalah suatu hal yang dapat mereduksi hakekat kemanusiaan dan sekaligus menafikan peran kekhalifahan manusianya. Dengan pengetahuan, manusia diperintahkan untuk menjalankan hukum-hukum Tuhan yang secara simbolis bertujuan untuk mencegah perbuatan  “yufsidu wa yasfiqu al-dima” di muka bumi. Cara terbaik melaksanakan perintah tersebut adalah dengan memahami maksud dan tujuan disyari`atkan hukum-hukum Tuhan. Oleh sebab itu misalnya, memahami perintah zakat secara sosiologis sebagai dana kemanusiaan untuk menolong dan memberdayakan orang yang tidak mampu adalah tepat dari pada menganggap zakat sebagai ibadah yang wajib dilakukan semata-mata karena ada perintah dari Tuhan. lebih dari itu, syari`at zakat adalah isyu universal mengenai penanganan problem kemanusiaan dan mesti dilakukan tanpa ada sekat keagamaan yang justru dapat membatasi peran dan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Ilustrasinya, Tuhan akan tetap menjadi Tuhan sekalipun seluruh mahluk-Nya enggan mengeluarkan zakat.*12)  Tetapi orang yang tak berdaya bisa menjadi sekarat atau sebaliknya nekat berbuat “yufsidu wa yasfiqu al-dima” tanpa bantuan dana kemanusiaan seperti zakat.
KEEMPAT, nafsu *13) adalah kecenderungan negatif sikap emosional yang harus kita tundukan dengan pengetahuan. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan “sesuatu” untuk memacu semangat dan kreatifitasnya. Keinginan untuk hidup sukses dan bahagia atau keinginan untuk bisa menolong orang lain adalah beberapa contoh positif sikap emosional yang mampu memompa semangat hidup seseorang, baik dalam bekerja maupun dalam mencari ilmu. Tetapi sebaliknya, ada pula yang menjadikan kekayaan dan kekuasaan dengan kebebasan sikap emosional sebagai motor penggerak semangat hidupnya.
Nafsu adalah keinginan untuk menentuan pilihan hidup secara bebas berdasarkan keinginan diri atau kelompok sendiri. Hanya saja manusia harus juga sadar terhadap sifat destruktif yang inheren pada kebebasan.*14)  Sebab tolok ukur kebabasan dalam memenuhi kepentingan diri atau kelompok sendiri yang tidak mengindahkan peraturan bagi kepentingan universal orang banyak dapat menutup (kufur) hati manusia dari kebenaran. Sebagaimana dahulu pernah terjadi pada Adam dan Hawa ketika diberi kebebasan untuk makan sesukanya di dalam surga. Karena bujuk rayu syaithan yang menjanjikan kekuasaan dan kekekalan atas kenikmatan surga (Q.S. 7: 20), Adam dan isterinya terlena sehingga memilih satu dari sekian banyak pilihan bebasnya yang justru tidak diperkenankan menurut aturan Tuhan. Jadilah Adam dan isterinya termasuk golongan orang-orang dzalim, yakni orang yang nafsunya terpedaya oleh syaitan.*15)
Oleh sebab itu, Rasulullah pernah berpesan kepada para sahabatnya bahwa jihad yang paling besar adalah memerangi nafsu. Karena selain berarti melawan keinginan dan kepentingan diri atau kelompok sendiri, pada hakekatnya manusia juga melawan tipu daya syaithan (Q.S. 47: 25) yang hanya menilai Adam dari segi fisiknya (tanah) bukan pada kemampuan intelektualnya (Q.S. 7: 12). Kesombongan jasmaniyah bahwa api sebagai materi penciptaan syaithan lebih baik dari Adam yang diciptakan dari tanah, membuatnya enggan bersujud (hormat) dan akhirnya terusir dari surga sebagai mahluk hina (Q.S. 7: 12-13). Karena itulah, dendam dan ancaman syaithan terhadap Adam beserta keturunannya adalah hal yang harus diwaspadai oleh umat manusia (Q.S. 7: 16-17). Menurut Ahmad Amin, kemampuan orang mengontrol hawa nafsu dengan memberikan kemenangan kepada akal untuk berfikir, bagaikan panglima yang berkuasa penuh atas semua prajuritnya. Sedangkan ketidakmampuan orang mengontrol nafsu, diibaratkannya seperti kapal tak punya tujuan.*16)  Tidak hanya terombang-ambing, tetapi juga sangat berpotensi tenggelam dalam kehidupan.

------------------------------------

  *1) Muhammad Nawawi al-Banteni, Tafsir Munir: Murah Labib li-Kasfi Mana Qur'an Majid,  (tk: Daar al-Fikr, tt), hal. 9.
  *2) Berkenaan dengan masalah kesombongan yang tidak patut disandang oleh manusia, Rasulullah dalam sebuah hadits bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan” demikian juga pada hadits qudsi ditemukan “Bahwa Allah SWT berkata: “Keagungan adalah sarung-Ku dan kesombangan adalah pakaian-Ku. Oleh sebab itu barang siapa merebutnya dari Ku, maka Aku akan menyiksanya”. Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Muslim.
  *3) Louis Ma`luf, Al-Munjîd fî al-Lughah wa al-Kalâm, (Beirut: Daar al-Masyreq, 1986), hal. 775
  *4) Kesimpulan ini penulis peroleh berdasarkan pendapat Fahruddin ar-Razi (544 H-605 H) seorang ulama tafsir yang menulis kitab Mafatih al-Ghaib (al-Tafsir al-Kabir) dan jumhur ulama yang berpendapat bahwa malaikat adalah mahluk Tuhan yang selalu taat terhadap perintah-perintah-Nya dan selalu terjaga dari perbuatan dosa. Pada awalnya, iblis adalah malaikat. Ketidak-patuhannya kepada Tuhan yang menyebabkan ia masuk ke dalam golongan orang-orang yang kafir. Pendapat Fahruddin ar-Razy ini penulis nukil dari Husain Affandi: Al-Husun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah 'ala al-Aqaid al-Islamiyah, (Surabaya: al-Maktabah al-Hidayah, tt), hal. 119-123. Dalam kamus, akar kata iblis diambil dari kata “ablasa” yang berarti putus asa, bersedih hati atau jahat. Arti secara tersirat memperkuat pengertian bahwa iblis pada awalnya merupakan malaikat. Yakni malaikat yang putus asa karena klaim ibadahnya kepada Tuhan (nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka) terutama paska sukses penugasannya mereformasi Banu al-Jan di muka bumi serta penciptaan fisiknya yang berasal dari api (khalaqtani min nar) tidak menjadi kredit poin baginya untuk memperoleh promosi sebagai khalifah. Tetapi justru promosi tersebut diberikan kepada Banu Adam yang menurut asumsinya sama dengan Banu al-Jan (yufsidu fiha wa yasfiqu al-dima) dan bahkan hanya tercipta dari tanah (khalaqtahu min thin). Sikap berputus asa dari rahmat Tuhan karena tidak diangkat menjadi khalifah kemudian menyebabkannya bersedih hati sehingga enggan atau durhaka dari perintah-Nya (fa fasaqa ‘an amri Rabih). Kedua sikap tersebut akhirnya merubah sikap malaikat menjadi jahat dengan memusuhi Adam dan keturunannya yang dianggap telah merebut tahta kekhalifahan. Yakni dengan cara menggangu dan menggoda Adam beserta keturunannya agar tersesat dari jalan Tuhan. Putus asa dan bersedih hati dengan tidak menjalankan perintah Tuhan bahkan berkeinginan jahat kepada manusia membuatnya mendapatkan sebutan iblis. Bukan hanya itu saja, pada akhirnya ia juga disebut dengan syaithan yang secara bahasa berarti jauh dari kebaikan atau “ruhun syirrirun”. Yakni ruh paling jahat dan merupakan musuh nyata bagi umat manusia yang harus dijauhinya.
  *5) Berkaitan dengan persoalan pengecualian (istitsna) di atas, ada pendapat yang menyatakan bahwa istitsna pada ayat-ayat tentang enggannya iblis sujud kepada Adam adalah istitsna munqathi atau pengecualian terputus. Dalam hal ini, pengecualian terhadap iblis adalah pengecualian terputus yang berarti keberadaan iblis tidak sama jenisnya dengan malaikat. Namun dalam tata bahasa Arab, sekalipun istitsna munqathi merupakan pengecualian yang tidak sama jenisnya, tetapi ia harus memiliki persyaratan khusus. Yakni al-mustatsna harus memiliki hubungan dengan al-mustatsna minhu secara adat (logis). Syaikh Musthafa Ghalayini, Jami’u al-Durus al-‘Arabiyah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 1987) cet. 21, hal. 137. Contoh dalam masalah ini adalah “telah datang presiden kecuali menteri”. Pada contoh ini, baik presiden maupun menteri memang berbeda jenis. Tetapi keduanya memiliki hubungan secara adat (logis) yaitu sama-sama pemerintah. Lain halnya dengan contoh: “telah datang presiden kecuali tukang becak” dimana presiden tidak ada hubungan adat (logis) dengan tukang becak. Apabila iblis dan malaikat berlainan jenis, maka pertanyaannya adalah dimana letak hubungan adat (logis) keduanya? Bila jawabannya adalah sama-sama mahluk Tuhan, mengapa khithab ditujukan hanya kepada malaikat yang mempergunakan redaksi tambahan alif dan lam definitive? Dan jika iblis adalah jenis jin, tentunya ia tidak ada di surga. Sebab bukankah jin berada di bumi yang karena gagal kemudian digantikan oleh Tuhan dengan menjadikan manusia sebagai khalifah (pengganti) mereka? Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini, penulis cenderung mengikuti pendapat sahabat seperti Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa iblis adalah malaikat durhaka.
  *6) Istilah tersebut penulis gunakan sekadar untuk memudahkan pengertian dalam membedakan malaikat yang disimpulkan dari Q.s. 2: 34 dan Q.S. 18: 50 berkaitan dengan takhshis bi al-istitsna lafazh malaikat sebagai lafazh yang masih menunjukkan makna umum, yakni seluruh mahluk yang dimiliki-Nya. Menurut sebagian ulama, iblis termasuk dari bangsa jin yang juga disimpulkan berdasarkan firman Tuhan pada Q.S. 18: 50. Sekalipun demikian menurut penulis, lafazh jin pada ayat tersebut lebih bermakna harfiyah dari pada alamiyah (nama bagi suatu obyek). Dalam pengertian ini, lafazh jin berarti tersembunyi yang berasal dari lafazh janna. Hal ini berarti bahwa iblis adalah mahluk yang tersembunyi atau tidak bisa dilihat manusia. Qarinah atau petunjuknya adalah munasabah ayat Q.S. 18: 50 dengan Q.S. 7: 27 yang secara eksplisit menyatakan bahwa iblis dan kemudian disebut juga dengan syaithan tidak dapat dilihat manusia. Syaid bin Jubair ketika mengomentari ayat 18: 50 mengartikan lafazh “kana min al-jin” sebagai malaikat yang bekerja di surga atau malaikat penjaga surga (jannah). Menurut Ibnu Abbas, karena durhaka atau tidak mentaati perintah Tuhan malaikat tersebut kemudian menjadi syaithan. Lihat DR. Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-syari`ah wa al-Manhaj, (Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991), juz I, cet. I, hal. 134-135. Kesimpulannya, iblis bukanlah sebangsa jin melainkan malaikat yang dikecualikan atau dikeluarkan (malaikat mustatsna) karena tidak mau mematuhi perintah Tuhan. Adapun dalil lain yang memperkuat pernyataan ini adalah: 1). Konteks ayat yang bercerita tentang perintah sujud jelas ditujukan kepada malaikat (li al-malaikat). Menurut al-Bughawi pendapat ini paling valid (al-ashah). DR. Wahbah Zuhaili, Ibid. Sehingga respon terhadap perintah tersebut tidak lain adalah respon malaikat. 2). Adanya dualisme respon malaikat terhadap perintah Tuhan “usjudu”. Malaikat mustatsna minhu merespon perintah tersebut secara positif “fa-sajadu”. Namun sebaliknya, malaikat mustatsna atau iblis meresponnya dengan negatif “fa-fasaqa ‘an amri Rabbihi” yang berarti “lalu ia (malaikat) mendurhakai perintah Tuhannya”. Jikalau pada awalnya iblis adalah iblis dan bukan bagian dari malaikat yang berarti sudah durhaka maka tidak mungkin muncul kalimat “fa-fasaqa ‘an amri Rabbihi”. Disamping itu, mustahil bagi Tuhan yang memerintahkan mahluk-Nya untuk berbuat adil tetapi tidak berbuat adil. Yakni menciptakan iblis “langsung” sebagai pendurhaka. 3). Tujuan penciptaan jin adalah sama seperti manusia yaitu beribadah kepada Tuhan (Q.S. 51: 56). Sedangkan malaikat diciptakan hanya untuk mentaati perintah Tuhan (Q.S. 66: 6). Karena itu iblis (sebutan setelah perbuatan durhaka) pada mulanya termasuk bagian dari malaikat. Tetapi kemudian dikeluarkan dari komunitas malaikat akibat perbuatannya yang tidak mentaati perintah Tuhan (Q.S. 7: 11-12).
  *7) M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet. II, hal. 282-283.
  *8) Muhamad Nawawi al-Banteni, Op. Cit., hal. 9
  *9) Jalaludin Muhamad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Muzayyalan bi kitab Lubab al-Nuqul fi asbab al-nuzul li as-Suyuthi, (Beirut: Daar al-Fikr, tt), hal. 8
  *10) Dalam mengomentari QS. 35: 28, imam al-Ghazali berpendapat bahwa sulit bagi orang yang tidak berilmu untuk dapat mengenal Allah, dan karena itu pula mustahil ia dapat mencintai dan mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya. Imam al-Ghazali, Minhaj al-`Abidin ila Jannah Rabb al-`alamin, (Indonesia: Daar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt), hal. 7. Pendapat yang juga cukup menarik ditampilkan di sini adalah pendapat Ahmad Wahib dalam catatan hariannya yang kemudian disunting oleh Djohan Effendi, sahabatnya yang sama-sama keluar dari HMI, menjadi sebuah buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam bahwa orang yang percaya kepada Tuhan dengan tanpa keraguan sedikitpun, sebenarnya dia tidak percaya kepada Tuhan melainkan percaya hanya pada berita tentang adanya Tuhan.
  *11) Musim paceklik atau sawah yang kering dapat disebut sebagai bencana atau dapat juga disebut sebagai kesalahan tehnis. Bagi orang awam hal itu adalah bencana yang diturunkan Tuhan dan karenanya mereka harus lebih rajin berdoa agar Tuhan segera menurunkan hujan. Sedangkan di mata orang yang berpengetahuan, hal itu bisa jadi karena sistem irigasi yang tidak baik sehingga diperlukan perencanaan dan perhitungan yang lebih cermat. Orang awam bergantung pada Tuhan, sedangkan orang yang berpengetahuan bergantung pada ilmu yang diberikan Tuhan. Kepada golongan terakhir inilah Tuhan mempercayakan dan menganugerahkan gelar kekhalifan-Nya. Untuk informasi  lain yang juga relevan, silahkan lihat : Murthada Muthahari, Kritik Islam terhadap Faham Materialisme, (Jakarta: Risalah Masa, 1992), hal. 45-53.
  *12) QS. 22: 37. Lafazh at-taqwa dalam ayat ini berasal dari lafazh wiqayah mengikuti wazan iftaala menjadi ittaqa yang berarti takut kepada Allah dengan cara mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
  *13) Nafsu berasal dari kata nafs yang berarti diri sendiri. Nafsu adalah kutub yang berseberangan secara diametral dengan kutub pengetahuan. Keduanya berada dalam satu kesatuan ikatan akal. Tepat diantara keduanya, Tuhan menempatkan Qalbu. Sesuatu yang kadang berpihak pada kejahatan dan kadang berpihak pada kebenaran, tergantung siapa diantara nafsu dan pengetahuan yang paling kuat mempengaruhinya. Dan jihad an-nafs yang dimaksud oleh Rasulullah setelah pulang perang badar adalah menenangkan nafsu (QS. 89: 27-30) atau dengan membuat qalbu menjadi hati nurani yang selalu mendapat petunjuk dari Tuhan (QS. 64: 11), bukan membiarkanya menjadi asyaddu qhaswah atau lebih keras dari batu karena tidak mau digunakan untuk memahami kebesaran Tuhan (QS. 2: 74). Lihat juga penjelasan penulis pada pembahasan jasmani dan ruhani manusia dalam bab II.
  *14) QS. 12: 53. Oleh sebab itu kita diminta untuk senantiasa berusaha menahan nafsu dan menjadikannya sebagai nafsu al-muthmainnah (QS. 79: 40-41).
  *15) Dalam surat al-Baqarah 30-39 maupun surat al-Araaf ayat 10-30 yang bercerita tentang promosi Adam sebagai khalifah di muka bumi, keberadaan iblis digambarkan sebagai sosok mahluk yang tidak mau sujud kepada Adam. Namun pada ayat-ayat selanjutnya, terminologi iblis diganti Tuhan dengan sebutan syaithan. Untuk itu perlu penulis jelaskan di sini bahwa iblis disebut dengan syaithan karena jauhnya dari kebaikan dan kebenaran. Sementara syaithan sendiri berarti “ruhun syirriirun” atau ruh yang banyak berbuat kejahatan. Iblis juga memiliki alam laqab atau julukan yaitu “syirrirun” karena seringnya berbuat kejahatan. Lihat Louis Ma`luf, Op.cit, hal. 380 dan 388. Bandingkan pula sebutan iblis sebagai “ruhun syirrirun” di atas dengan malaikat Jibril yang disebut dengan “ruhun aminun” atau “ruh al-qudus”.
  *16) Prof. Dr. Ahmad Amin, Etika /Ilmu Akhlaq, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 237

Tidak ada komentar:

Posting Komentar